Sabtu, 24 Oktober 2009

MENYOAL EKSISTENSI MENWA INDONESIA

RESERVE Officers Training Corps (ROTC/Korps Perwira Cadangan)
perguruan tinggi terbaik di Amerika, seperti di University of Georgia
dan MIT (Massachusetts Institute of Technology). Komunitas ini telah
melahirkan kebanggaan dan tradisi bagi mahasiswa akan bela negara dan
kepemimpinan.

Kelahiran ROTC pun dalam situasi negara yang tidak menentu (perang
saudara), tidak jauh berbeda dengan Indonesia yang lebih dikenal
sebagai Resimen Mahasiswa (Menwa) yang juga lahir di masa negara
dalam situasi krisis, serta merupakan manifestasi (berkelanjutan)
dari tradisi kejuangan Tentara Pelajar dan Corps Brigade Mahasiswa
(1945-1965).

Bedanya, ROTC saat ini telah menjadi sumber kepemimpinan nasional di
Amerika, karena eksistensinya sangat jelas, pola pelatihannya terpadu
dan terarah untuk menghasilkan lulusan perguruan tinggi terbaik yang
dibekali kepemimpinan dan keahlian di bidangnya. Sebaliknya di
Indonesia, Menwa yang telah berusia hampir 41 tahun masih terus
di-ubeg-ubeg dan statusnya "dibuat" mengambang.

Peristiwa Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Muhammadiyah
Surakarta (UMS) beramai-ramai menuntut pembubaran Menwa di kampus UMS
salah satu contohnya. (Suara Merdeka, 13 September 2002).

Mungkin lain ceritanya, bila yang menolak Menwa pernah membaca
situs-situs ROTC di internet dan memahami filosofi demokrasi dan
kebebasan berorganisasi.

Mungkin, keinginan euforia mahasiswa yang terjadi akan lebih tepat
lagi bila menghasilkan implikasi bagaimana pemberdayaan organisasi
Menwa masa depan, agar berkontribusi lebih banyak bagi bangsa dan
negara, bukan sebaliknya.

Sebenarnya konsep awal Menwa tak ubahnya ROTC di Amerika pada akhir
abad ke-19 sebagai milisi rakyat untuk bela negara. Namun konsep awal
yang "indah" tersebut berakhir dengan adanya pembubaran Menwa melalui
pencabutan SKB 3 Menteri (Depdikbud-Depdagri-Dephankam) akibat
munculnya berbagai kasus negatif yang dilakukan Menwa.

Padahal apabila dianalisa secara objektif, justru SKB 3 Menteri
membebani Menwa karena aturan maupun praktik pelaksanaannya tidak
dijalankan secara konsisten oleh pihak-pihak yang terkait. Peran yang
dijalankan ketiga departemen tersebut sangat marginal, sehingga Menwa
tidak bisa melakukan pembinaan dan pengembangan potensi bela negara
dengan baik.

Saat ini merupakan waktu yang tepat untuk mengkaji Menwa dalam
kerangka konstruktif dan menghindari tindakan yang kontraproduktif
bagi eksistensi Menwa.

Perubahan yang mendasar dan menyeluruh (rekayasa ulang) bagi Menwa
sudah menjadi kebutuhan mutlak. Nampaknya, harus belajar pada
Malaysia. PALAPES, begitu mereka menyebut Menwanya, telah berkembang
dengan baik dan menjadi pola ideal tidak ubahnya ROTC di Amerika.

Pada waktu awal pembentukan PALAPES di Malaysia, Menwa Indonesia
dijadikan inspirasi awal dan studi banding mereka, baik secara konsep
maupun implementasinya. Namun, kini PALAPES telah berkembang pesat
meninggalkan saudaranya di Indonesia.

Dua Aspek

Pengembangan Menwa memiliki dua aspek utama, yaitu pertama, sebagai
wadah untuk aktivitas kemahasiswaan, tak ubah seperti UKM (Unit
Kemahasiswaan) yang lain, sebagai wahana penyaluran hobi,
bersosialisasi, berorganisasi.

Kedua, Menwa merupakan perwujudan konsep misi/battle orders sebagai
konsekuensi logis adanya Pasal 30 UUD 1945 (AH Nasution, 1994).

Sedangkan dalam dimensi praktis, model rekayasa ulang Menwa akan
mirip dengan ROTC di Amerika, sebagai salah satu sumber militer
karier sekaligus sebagai wadah community/service UKM perguruan
tinggi.

Jangan heran, apabila dijumpai tidak sedikit mahasiswa Indonesia yang
belajar di Amerika nyambi menjadi "kadet" sukarela melalui jalur Army
ROTC, karena si mahasiswa Indonesia ingin menyalurkan
hobi/bersosialisasi dan belajar berorganisasi pada manajemen militer
sekaligus menyelesaikan pendidikan akademiknya.

Inilah kenyataan yang ada, di Indonesia Menwa dituntut dibubarkan,
tetapi di Amerika banyak mahasiswa Indonesia yang numpang latihan
bela negara.

Resimen Teknologi

Tantangan yang dihadapi bangsa dan negara Indonesia di masa kini dan
mendatang sudah sedemikian berubah.

Adanya mahasiswa berkarier di militer seperti ROTC, maka tidak
menutup kemungkinan model Resimen Teknologi seperti di Amerika yang
merupakan sumber perwira untuk memenuhi kebutuhan teknologi militer
(perwira-perwira operasi kapal induk, teknologi informasi, nuklir,
biologi dan kimia) dapat juga diaplikasikan di Indonesia. Program ini
dilaksanakan melalui perguruan tinggi semacam ITB, UI, UGM, Undip,
UNS dan perguruan tinggi lainnya.

Sun Tzu, seorang pemimpin, ahli filosofi Cina yang hidup pada abad
keempat SM, mewariskan banyak kebijaksanaan mengenai strategi dan
taktik militer yang dapat diterapkan pada semua bisnis. Bahkan
kesuksesan "Operasi Badai Gurun" dalam Perang Teluk beberapa tahun
lalu, juga telah menghasilkan buku-buku text-book tentang manajemen
operasi dan logistik modern.

Inilah yang dapat dijadikan sebagai value yang sangat berharga bagi
mahasiswa untuk berperan serta dalam wadah seperti ROTC dan
mengkajinya dalam pendekatan ilmiah.

Semua aktivitas tersebut memiliki filosofis membentuk karakter yang
sangat berguna sebagai penempaan kepemimpinan mahasiswa masa depan.
Jadi aktivitas ROTC bukan sekadar latihan perang-perangan tetapi
mengambil filosofi dari latihan sebagai model laboratorium
kepemimpinan alternatif bagi mahasiswa.


Pada akhirnya output yang akan diperoleh setiap mahasiswa berupa
pemberdayaan diri yang memiliki sosok kepemimpinan karakter dan
keunggulan kompetitif (mental, emosional, dan fisik). Selain juga
memiliki nilai-nilai utama antara lain, a) loyalitas kepada
kehormatan bangsa, b) melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya, c)
respek terhadap sesama, d) terbiasa mengutamakan kepentingan bangsa
dan negara di atas kepentingan pribadi, e) kehormatan diri, f)
integritas, g) sosok yang bijaksana dalam memandang segala hal.

Langkah Dramatis

Untuk menuju Indonesian ROTC, diperlukan beberapa langkah "dramatis"
yang harus dilewatkan dengan tenggang waktu kurang dari dua tahun.
Pertama, pematangan konsep dan kelembagaan. Sebenarnya sudah sejak
tahun 1967 Menwa ITB mengajukan konsep Indonesian ROTC. Tetapi,
malang pemikiran itu seperti elektron menabrak dinding potensial tak
terhingga, tak ada yang mengembus, semuanya mantul. Karena dalam 32
tahun terakhir ini, hampir semua kekuatan sipil terpinggirkan
termasuk Menwa dibiarkan tidak berkembang.

Kedua, legal formal action. Bagaimanapun, negara dalam arti
pemerintah/presiden bersama DPR harus memperkokoh konsep dan
kelembagaan dan menjadikannya sebagai UU.

Ketiga, pelaksanaan proyek percontohan. Setelah piranti hukum
disahkan, selanjutnya tahap terpenting yaitu pelaksanaan operasional
di lapangan. Proyek percontohan resimen. Teknologi sebagai
cikal-bakal Indonesian ROTC ini, harus dikontrol dan dievaluasi
dengan ketat. Bandung sebagai pusat pendidikan tentara, dapat
menopang program ini.

Mahasiswa yang terpilih disaring sejak mereka lulus UMPTN, dan dapat
mengikuti seleksi sukarela untuk memasuki program Resimen Teknologi.

Keempat, evaluasi dan penyempurnaan. Tidak ada sesuatu yang terjadi
sempurna, oleh karena itu diperlukan proses pengembangan
berkelanjutan. Karena dengan evaluasi dan penyempurnaan, maka sistem
dan kurikulum yang dilaksanakan dapat menjadi lebih baik dan menjadi
prototip yang sempurna.

Kelima, pencangkokan oleh perguruan tinggi terpilih. Pada tahap ini
dapat dilakukan hanya bagi perguruan tinggi yang berkualitas dan
berstandar sesuai yang ditentukan oleh Dephankam dan Depdiknas,
karena berimplikasi pada kontrol dan tanggung jawab operasional di
lapangan. (18)

Menyoal Eksistensi Menwa
Oleh: Bima Hermastho dan Rifki Muhida

RESERVE Officers Training Corps (ROTC/Korps Perwira Cadangan)
perguruan tinggi terbaik di Amerika, seperti di University of Georgia
dan MIT (Massachusetts Institute of Technology). Komunitas ini telah
melahirkan kebanggaan dan tradisi bagi mahasiswa akan bela negara dan
kepemimpinan.

Kelahiran ROTC pun dalam situasi negara yang tidak menentu (perang
saudara), tidak jauh berbeda dengan Indonesia yang lebih dikenal
sebagai Resimen Mahasiswa (Menwa) yang juga lahir di masa negara
dalam situasi krisis, serta merupakan manifestasi (berkelanjutan)
dari tradisi kejuangan Tentara Pelajar dan Corps Brigade Mahasiswa
(1945-1965).

Bedanya, ROTC saat ini telah menjadi sumber kepemimpinan nasional di
Amerika, karena eksistensinya sangat jelas, pola pelatihannya terpadu
dan terarah untuk menghasilkan lulusan perguruan tinggi terbaik yang
dibekali kepemimpinan dan keahlian di bidangnya. Sebaliknya di
Indonesia, Menwa yang telah berusia hampir 41 tahun masih terus
di-ubeg-ubeg dan statusnya "dibuat" mengambang.

Peristiwa Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Muhammadiyah
Surakarta (UMS) beramai-ramai menuntut pembubaran Menwa di kampus UMS
salah satu contohnya. (Suara Merdeka, 13 September 2002).

Mungkin lain ceritanya, bila yang menolak Menwa pernah membaca
situs-situs ROTC di internet dan memahami filosofi demokrasi dan
kebebasan berorganisasi.

Mungkin, keinginan euforia mahasiswa yang terjadi akan lebih tepat
lagi bila menghasilkan implikasi bagaimana pemberdayaan organisasi
Menwa masa depan, agar berkontribusi lebih banyak bagi bangsa dan
negara, bukan sebaliknya.

Sebenarnya konsep awal Menwa tak ubahnya ROTC di Amerika pada akhir
abad ke-19 sebagai milisi rakyat untuk bela negara. Namun konsep awal
yang "indah" tersebut berakhir dengan adanya pembubaran Menwa melalui
pencabutan SKB 3 Menteri (Depdikbud-Depdagri-Dephankam) akibat
munculnya berbagai kasus negatif yang dilakukan Menwa.

Padahal apabila dianalisa secara objektif, justru SKB 3 Menteri
membebani Menwa karena aturan maupun praktik pelaksanaannya tidak
dijalankan secara konsisten oleh pihak-pihak yang terkait. Peran yang
dijalankan ketiga departemen tersebut sangat marginal, sehingga Menwa
tidak bisa melakukan pembinaan dan pengembangan potensi bela negara
dengan baik.

Saat ini merupakan waktu yang tepat untuk mengkaji Menwa dalam
kerangka konstruktif dan menghindari tindakan yang kontraproduktif
bagi eksistensi Menwa.

Perubahan yang mendasar dan menyeluruh (rekayasa ulang) bagi Menwa
sudah menjadi kebutuhan mutlak. Nampaknya, harus belajar pada
Malaysia. PALAPES, begitu mereka menyebut Menwanya, telah berkembang
dengan baik dan menjadi pola ideal tidak ubahnya ROTC di Amerika.

Pada waktu awal pembentukan PALAPES di Malaysia, Menwa Indonesia
dijadikan inspirasi awal dan studi banding mereka, baik secara konsep
maupun implementasinya. Namun, kini PALAPES telah berkembang pesat
meninggalkan saudaranya di Indonesia.

Dua Aspek

Pengembangan Menwa memiliki dua aspek utama, yaitu pertama, sebagai
wadah untuk aktivitas kemahasiswaan, tak ubah seperti UKM (Unit
Kemahasiswaan) yang lain, sebagai wahana penyaluran hobi,
bersosialisasi, berorganisasi.

Kedua, Menwa merupakan perwujudan konsep misi/battle orders sebagai
konsekuensi logis adanya Pasal 30 UUD 1945 (AH Nasution, 1994).

Sedangkan dalam dimensi praktis, model rekayasa ulang Menwa akan
mirip dengan ROTC di Amerika, sebagai salah satu sumber militer
karier sekaligus sebagai wadah community/service UKM perguruan
tinggi.

Jangan heran, apabila dijumpai tidak sedikit mahasiswa Indonesia yang
belajar di Amerika nyambi menjadi "kadet" sukarela melalui jalur Army
ROTC, karena si mahasiswa Indonesia ingin menyalurkan
hobi/bersosialisasi dan belajar berorganisasi pada manajemen militer
sekaligus menyelesaikan pendidikan akademiknya.

Inilah kenyataan yang ada, di Indonesia Menwa dituntut dibubarkan,
tetapi di Amerika banyak mahasiswa Indonesia yang numpang latihan
bela negara.

Resimen Teknologi

Tantangan yang dihadapi bangsa dan negara Indonesia di masa kini dan
mendatang sudah sedemikian berubah.

Adanya mahasiswa berkarier di militer seperti ROTC, maka tidak
menutup kemungkinan model Resimen Teknologi seperti di Amerika yang
merupakan sumber perwira untuk memenuhi kebutuhan teknologi militer
(perwira-perwira operasi kapal induk, teknologi informasi, nuklir,
biologi dan kimia) dapat juga diaplikasikan di Indonesia. Program ini
dilaksanakan melalui perguruan tinggi semacam ITB, UI, UGM, Undip,
UNS dan perguruan tinggi lainnya.

Sun Tzu, seorang pemimpin, ahli filosofi Cina yang hidup pada abad
keempat SM, mewariskan banyak kebijaksanaan mengenai strategi dan
taktik militer yang dapat diterapkan pada semua bisnis. Bahkan
kesuksesan "Operasi Badai Gurun" dalam Perang Teluk beberapa tahun
lalu, juga telah menghasilkan buku-buku text-book tentang manajemen
operasi dan logistik modern.

Inilah yang dapat dijadikan sebagai value yang sangat berharga bagi
mahasiswa untuk berperan serta dalam wadah seperti ROTC dan
mengkajinya dalam pendekatan ilmiah.

Semua aktivitas tersebut memiliki filosofis membentuk karakter yang
sangat berguna sebagai penempaan kepemimpinan mahasiswa masa depan.
Jadi aktivitas ROTC bukan sekadar latihan perang-perangan tetapi
mengambil filosofi dari latihan sebagai model laboratorium
kepemimpinan alternatif bagi mahasiswa.


Pada akhirnya output yang akan diperoleh setiap mahasiswa berupa
pemberdayaan diri yang memiliki sosok kepemimpinan karakter dan
keunggulan kompetitif (mental, emosional, dan fisik). Selain juga
memiliki nilai-nilai utama antara lain, a) loyalitas kepada
kehormatan bangsa, b) melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya, c)
respek terhadap sesama, d) terbiasa mengutamakan kepentingan bangsa
dan negara di atas kepentingan pribadi, e) kehormatan diri, f)
integritas, g) sosok yang bijaksana dalam memandang segala hal.

Langkah Dramatis

Untuk menuju Indonesian ROTC, diperlukan beberapa langkah "dramatis"
yang harus dilewatkan dengan tenggang waktu kurang dari dua tahun.
Pertama, pematangan konsep dan kelembagaan. Sebenarnya sudah sejak
tahun 1967 Menwa ITB mengajukan konsep Indonesian ROTC. Tetapi,
malang pemikiran itu seperti elektron menabrak dinding potensial tak
terhingga, tak ada yang mengembus, semuanya mantul. Karena dalam 32
tahun terakhir ini, hampir semua kekuatan sipil terpinggirkan
termasuk Menwa dibiarkan tidak berkembang.

Kedua, legal formal action. Bagaimanapun, negara dalam arti
pemerintah/presiden bersama DPR harus memperkokoh konsep dan
kelembagaan dan menjadikannya sebagai UU.

Bima Hermastho, mahasiswa Program Doktor Ilmu Ekonomi Undip, Rifki
Muhida Researcher dan mahasiwa Program Doktor Fisika Teori, Osaka
University, Jepang.

Melipatgandakan Sistem Pertahanan NKRI

Resimen Mahasiswa (MENWA) adalah konsep Bela Negara yang paling ideal di Indonesia. Anggota Menwa adalah sekumpulan mahasiswa yang memiliki idealisme yang murni tentang nasionalisme. Mereka dengan sukarela mengorbankan waktu, tenaga dan pikiran untuk menyiagakan diri menjadi cadangan nasional jika sewaktu-waktu negara membutuhkan. Dengan idealismenya, Menwa terus berlatih meskipun tidak mendapat dukungan, Setelah melaksanakan Pra Pendidikan Dasar, dirangkai dengan DIKSAR, Menwa tidak pernah menuntut apapun kepada negara, termasuk gaji sekalipun. Bahkan anggaran selama menjadi anggota Menwa di dapat dari unsur swasta, kecuali Menwa Perguruan Tinggi Negeri. Menwa-Menwa Perguruan Tinggi swasta merencanakan kegiatan, melaksanakan kegiatan termasuk DIKSAR dengan menggunakan dana dari pihak swasta. Sesuatu yang sangat aneh, sebuah unsur pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang siap mengabdi demi Indonesia tercinta, ernyata makan, minum dan berfikirnya dibiayai oleh swasta, yaitu pihak Universitas, itupun harus melalui lobi-lobi yang sangat prosedural. Yang aneh lagi ternyata Menwa-menwa ini masih saja loyal kepada NKRI.

Sebagai unsur pertahanan, bersama rakyat dan TNI, Menwa selalu siaga jika sewaktu-waktu terjadi gejolak di Indonesia,selama masa siaga dan tidak terjadi gejolak, Menwa tidak mendapat apapun dari Negara ini. selain sertifikat DIKSAR, yang itupun dibeli dengan dana mengemis dari pihak swasta. Sebenarnya, apa sulitnya bagi Pemerintah untukmemberikan dana operasional, pendidikan dan latihan kepada Menwa. JIka setiap perguruan tinggi diberi dana Rp.10.000.000 per tahun itu sudah sangat layak untuk membiayai kegiatan Menwa. Mungkin ada yang beranggapan, dana itu terlalu besar. Baik, coba kita hitung, gaji seorang prajurit TNI, anggap saja gaji bersihnya adalah Rp.1.000.000, berarti dalam satu tahun gaji prajurit adalah 1.000.000 X 12 = Rp.12.000.000.

Dengan asumsi tersebut, berarti gaji seorang prajurit TNI bisa untuk membiayai Menwa satu Universitas. Bahkan masih sisa Rp.2.000.000 . Berarti pemerintah mengurangi anggaran seorang prajurit TNI yang siap berkorban demi NKRI untuk dialihkan pada 50 orang Menwa yang juga siap berkorban demi NKRI. Jika ini terlaksana dengan baik, kekuatan pertahanan bangsa ini akan naik 50 kali lipat, dibandingkan hari ini, dan juga efisiensi hingga 50 kali lipat. Pemerintah tidak perlu membiayai hidup setiap personil Menwa, cukup biayai saja kegiatannya.
Menwa dan TNI sama-sama siaga, mereka juga unsur pertahanan bagi bangsa Indonesia. Bedanya saat ini-mungkin sampai batas waktu yang tidak ditentukan-Menwa akan terus menerus di biayai oleh swasta, TANYA KENAPA DEPHAN, DEPDAGRI DAN DEPDIKNAS.

Minggu, 30 Agustus 2009

STRATEGI DAN SUMBER DAYA BANGSA MENGHADAPI PERANG MODERN


Tugas bela negara bukanlah semata-mata tanggung-jawab tentara.
Pasal 30 Ayat 1 UUD 1945 secara tegas menyebutkan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara”.

Selama kita 64 tahun menjalani kehidupan bernegara yang merdeka, berbagai gagasan tentang sistem pertahanan negara telah kita kembangkan.
Sebuah acuan yang kini berlaku ialah UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
Ketentuan umum pada Pasal 1 Ayat 2 UU tersebut menyebut adanya “sistem pertahanan semesta yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman”.

Merujuk pada pasal itu, jelas bahwa warga masyarakat dan swasta (korporasi) sebagai sumber daya nasional dilibatkan dalam sistem pertahanan negara, paling tidak sebagai Komponen Cadangan seperti dimaksud dalam Ayat 6, atau Komponen Pendukung (Ayat 7). Ada pun TNI berperan sebagai Komponen Utamanya (Ayat 5).

Pada bagian penjelasan UU Nomor 3 Tahun 2002 itu dikatakan bahwa dalam era globalisasi ini, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi komunikasi-informas i sangat mempengaruhi pola dan bentuk ancaman. Ancaman atas kedaulatan negara yang semula bersifat konvensional (militer) kini berkembang menjadi multi-dimensional (militer dan nir-militer) , dengan sumber ancaman dari dalam dan luar negeri.

Ancaman yang bersifat multi-dimensional tersebut bisa berupa penetrasi ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, maupun gangguan keamanan yang terkait dengan kejahatan internasional, antara lain terorisme, imigran gelap, bahaya narkotika, pencurian kekayaan alam, bajak laut, dan perusakan lingkungan.

Dengan demikian, permasalahan pertahanan menjadi begitu kompleks.
TNI sendiri telah mengembangkan diri untuk menghadapi tantangan baru itu, antara lain dengan doktrin Operasi Militer Bukan Perang (Military Operation Other Than War, MOOW), yakni pengerahan kapasitas militer untuk operasi non-tempur. Toh, jangkauan operasi ini terbatas.
Dengan begitu, tantangan baru ini menuntut tanggung jawab semua instansi yang terkait, baik instansi pemerintah, lembaga non-pemerintah, bahkan masyarakat luas.

Dalam konteks ini, di mana peran masyarakat dan swasta (lembaga non-pemerintah) ?

UU Nomor 3 Tahun 2002 itu sendiri jelas mengklasifikasikan bala pertahanan negara yang tergolongkan pada tiga kelompok, yakni Komponen Utama (TNI), Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung.
Hal ihwal tentang Komponen Cadangan itu kini sudah tertuang dalam RUU tentang Komponen Cadangan Pertahanan Nasional yang draft akademisnya telah berada di tangan DPR.
Sedangkan Komponen Pendukung belum jelas betul sosoknya.

Menurut draft yang ada, Komponen Cadangan pertahanan negara itu disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi umum guna meningkatkan kapasitas Komponen Utama (TNI).
Karena mengandung frasa “mobilisasi umum”, draft tersebut dikesankan sebagai RUU Wajib Militer.

Sementara itu, RUU yang sama menyebutkan bahwa Komponen Pendukung adalah sumber daya bangsa yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan Komponen Utama dan Komponen Cadangan. Dan sementara ini disebut-sebut bahwa Resimen Mahasiswa masuk dalam kategori Komponen Pendukung ini.

Dengan demikian, untuk pertanyaan di mana peran masyarakat dan swasta dalam sistem pertahanan negara kita, jawabnya adalah pada Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung.
Namun, yang lebih utama adalah pertanyaan bagaimana pelembagaan dari Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung itu sendiri agar penggunaan sumber daya pertahanan kita bisa lebih efektif dan efisien. Atau dengan kata lain, lebih ekonomis.

Salah satu pendekatan untuk membangun postur dan kelembagaan yang efektif atas Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung itu ialah secara interaktif memadukan gagasan yang muncul dengan hakekat ancaman terhadap pertahanan itu sendiri. Dan hakekat ancaman ini pun berubah secara dinamis dari masa ke masa.

Di sinilah pentingnya disusun sebuah Strategic Defense Review (SDR) yang punya kedalaman, hingga bisa menyentuh profil gangguan pada jangka pendek, menengah maupun jangka panjang.
SDR harus menjadi acuan bagi upaya membangun sistem Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung yang tangguh namun sekaligus ekonomis.

Dari situlah kemudian kita pertanyakan apakah kata kunci “mobilisasi umum” pada RUU Komponen Cadangan Pertahanan Nasional itu bisa membangun sebuah kekuatan yang efektif. Ini tentu bisa kita perdebatkan.
Tetapi yang jelas, mobilisasi umum akan memakan biaya besar. Bukankah ongkos besar itu akan lebih baik bila sebagian digunakan untuk memperkuat kapasitas komponen utama yang ada. Misalnya, untuk kesejahteraan prajurit, pemeliharaan alutsista, dan pemeliharaan kesamaptaan teknis.


Pemberdayaan Menwa

Ongkos membangun sebuah kekuatan cadangan akan lebih kecil bila kita memanfaatkan “bahan baku” yang lebih siap pakai.

Pengalaman kita selama 50 tahun dengan Resimen Mahawarman membuktikan bahwa kita seharusnya bisa memetik sumber daya yang lebih siap pakai untuk keperluan pertahanan negara dari Korps Baret Ungu tersebut. Namun, sejarah menunjukkan bahwa kita telah menyia-nyiakan kapasitas lebih dari Resimen Mahasiswa.
Padahal kita bisa membayangkan betapa besar sebetulnya manfaat yang bisa diraih bila para anggota dan alumni Menwa itu diberdayakan secara sistemik dalam upaya bela negara.

Pada uraian di atas sudah disebutkan bahwa dalam tatanan yang akan dibangun, posisi anggota Korps Baret Ungu yang mahasiswa aktif maupun para alumninya berada pada jenjang Komponen Pendukung.
Namun, para anggota Resimen Mahasiswa itu bisa kita tingkatkan kompetensinya untuk memasuki jenjang Komponen Cadangan, melalui suatu bentuk Korps Pendidikan Perwira Cadangan (Reserve Officer Training Corps, ROTC).
Dalam program ini, ketika anggota menwa lulus dari bangku perguruan tinggi, mereka bukan saja menyandang gelar sebagai sarjana (S-1), namun lebih dari itu mereka juga menjadi seorang perwira militer, yaitu Letnan Dua Cadangan.

Kita tinggal mensinkronkan, agar para anggota menwa tersebut mengambil kuliah dan latihan kemiliteran yang tersistem dalam Satuan Kredit Semester (SKS), sehingga memiliki bekal pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skill) sebagai perwira militer.
Sedangkan sikap postur (attitude) sebagai perwira, dibentuk dalam kegiatan sebagai warga Korps, yang merupakan transformasi kegiatan kemenwaan yang kita lakukan selama ini.

Setelah lulus sebagai perwira, para alumni Menwa yang sekaligus Perwira Cadangan itu akan terjun ke masyarakat, baik sebagai profesional, wirausaha, pegawai negeri, atau bahkan pekerja seni misalnya. Tetapi sekaligus mereka pun langsung masuk ke dalam jajaran kekuatan Komponen Cadangan.
Dalam suasana damai, pekerjaan apa pun yang mereka jalani tak menghilangkan hak dan kewajiban mereka sebagai anggota satuan Komponen Cadangan. Tentunya dengan terlebih jauh mengatur kewenangan, hak dan kewajiban mereka, serta kelembagaan yang akan mengendalikan mereka sebagai bagian dari kekuatan Komponen Cadangan.

Dengan mencetak perwira dari perguruan tinggi itu, yang merupakan peran serta masyarakat yang nyata dalam pembentukan sumber daya manusia bela negara yang berbasiskan tingkat kesukarelaan yang tinggi, beban biaya yang harus ditanggung negara juga akan lebih ringan.

Belum lagi, dari aspek kecabangan militer, perwira dari “hasil cetakan” perguruan tinggi itu akan lebih beragam dan lebih siap menghadapi berbagai aspek perang multi-dimensional. Di sinilah ada imbal-balik dari segi mutu.
Boleh jadi, dari aspek kemiliteran inti, seperti aspek ke-infantri- an, kualitas perwira cetakan universitas itu mungkin tak se-‘trengginas’ dari akademi militer. Namun dari segi kecabangannya, mereka bisa diharapkan akan lebih mumpuni, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diikuti dengan lebih intens oleh dunia perguruan tinggi.

Perusahaan-perusaha an swasta nasional (korporasi nasional), bahkan juga multi-nasional, bisa berpartisipasi dalam mendidik sumber daya manusia siap pakai ini, dengan skema beasiswa atau ikatan dinas, misalnya. Korporasi tidak akan rugi karena ikut mencetak sarjana plus, yang pada saatnya akan memperkuat jajaran sumber daya manusia mereka.

Lulusan universitas yang sekaligus telah meraih kualifikasi perwira itu jelas akan memiliki kelebihan dibanding sarjana pada umumnya.
Mereka tak hanya telah memiliki bekal intelegensia sesuai disiplin ilmunya, lebih dari itu mereka juga telah menerima gemblengan nilai-nilai keperwiraan yang akan diperlukan dalam organisasi apapun. Aspek leadership misalnya. Belum lagi soal disiplin dan penghormatan atas hirarki. Pihak korporasi akan memperoleh tenaga yang lebih andal dan bertanggung jawab.

Lepas dari soal silang-pendapat domain operasional antara pertahanan dan keamanan, yang implementasinya adalah pembagian kerja antara TNI dan Polri, perwira-perwira lulusan perguruan tinggi itu bisa diharapkan akan lebih efektif dalam menangkal bahaya narkotika, illegal logging, illegal fishing, trafficking, imigran gelap, perusakan lingkungan dan gangguan-gangguan lainnya yang berbasiskan teknologi tinggi.

Dengan cara pandang yang sama, kelompok-kelompok sumber daya dalam komponen pendukung, seperti pramuka, hansip, linmas, satpam, organisasi pemuda, cabang olahraga tertentu, kelompok pencinta alam, bahkan satgas partai, bisa pula diberdayakan untuk menunjang kekuatan Komponen Cadangan. Mereka bisa difungsikan sesuai kompetensinya masing-masing, di bawah pimpinan dan pembinaan para perwira cadangan.


Penutup

Kenyataan bahwa RUU Komponen Cadangan Pertahanan Nasional tak kunjung dibahas di DPR, meskipun draftnya sudah muncul sejak 2005, agaknya itu tak lepas dari kebimbangan banyak fihak tentang implementasinya bila draft tersebut menjadi undang-undang.
Ada konsekuensi biaya yang besar dan ada pula kerumitan dalam penyusunan kelembagaannya.

Pemberdayaan Menwa dan para alumninya itu tampaknya bisa menjadi terobosan, di tengah situasi nyata bahwa Komponen Utama pertahanan negera kita cukup kepayahan menghadapi berbagai gangguan yang mengancam pertahanan nasional kita.
Bila hal tersebut berlangsung berlarut-larut, kedaulatan negara menjadi taruhannya.

PENGUASAAN DAN PENERAPAN IPTEK GUNA MENDUKUNG KEKUATAN PERTAHANAN NEGARA



1. Pendahuluan.
Berdasarkan Undang Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, pasal 2 menyatakan hakikat pertahanan negara adalah segala upaya pertahanan bersifat semesta yang penyelenggaraannya didasarkan pada kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara serta keyakinan pada kekuatan sendiri. Sedangkan yang dimaksud dengan pertahanan bersifat semesta adalah keterlibatan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman.
Dalam Undang Undang Nomor 3 Tahun 2002, pasal 7 ayat (2) dan (3) menyebutkan macam ancaman, yaitu ancaman militer dan ancaman non militer. Ancaman militer adalah ancaman yang menggunakan kekuatan bersenjata yang terorganisasi yang dinilai mempunyai kemampuan yang membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa. Ancaman militer yang merupakan ancaman nyata terlihat secara fisik dan dapat menghancurkan atau memporak-porandakan suatu negara, misalnya agresi militer, sabotase, pelanggaran wilayah semakin jarang terjadi. Sedangkan ancaman non militer pada hakikatnya adalah ancaman yg menggunakan faktor-faktor non militer yang dinilai mempunyai kemampuan yang membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa. Ancaman non militer ini merupakan ancaman yang sering terlihat tidak nyata secara fisik tetapi sangat efektif untuk menghancurkan suatu negara melalui penetrasi nilai-nilai diantaranya kebebasan, demokrasi, HAM dan lingkungan hidup, akan terus terjadi bahkan meningkat pada masa depan baik dari kuantitas maupun kualitasnya.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang pertahanan dapat menimbulkan ancaman militer dan ancaman non militer semakin luas. Untuk itu, kemajuan Iptek harus dimanfaatkan untuk mendukung terwujudnya pertahanan negara yang kuat.

2. Kemajuan Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi Pertahanan.

Seiring derasnya arus globalisasi yang mempengaruhi segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, berbagai negara telah berlomba-lomba dalam penguasaan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mendukung pertahanan negaranya.

Pemanfaatan kemajuan Iptek dalam bidang pertahanan, dapat memperkuat pertahanan suatu negara dan juga menimbulkan ancaman bagi negara lain. Pemanfaatan teknologi ini dapat meningkatkan kemampuan alutsista dan peralatan militer lainnya, misalnya memperjauh jarak tembak rudal, meningkatkan kemampuan anti radar, meningkatkan kemampuan senjata kimia dan biologi (chemical/biological weapon). Sedangkan dari aspek ancaman yang ditimbulkan dapat berupa Electronic Warfare, Information Warfare, Cyber Warfare dan Psychological Warfare. Pemanfaatan teknologi tersebut akan berpengaruh besar pada kondisi pertahanan dan keamanan dunia.

Banyak negara telah mengembangkan teknologi informasi dan komunikasi, teknologi kedirgantaraan, bioteknologi, teknologi propulsi, teknologi pembangkit energi dan nanoteknologi untuk menggerakan industri pertahanannya dalam rangka memproduksi alutsista yang digunakan untuk memperkuat militernya dan juga untuk menyiapkan sebagai produsen alutsista yang siap bersaing dengan negara produsen lain.
Negara-negara maju seperti AS, Inggris, Jerman, Perancis, Rusia dan Jepang secara berkelanjutan mengembangkan industri pertahanannya untuk memperkuat kekuatan militernya dan menjadikan sebagai negara pengekspor alutsista. Masing-masing negara memiliki keunggulan sesuai dengan pengembangan Iptek yang terdapat di negaranya. Industri pertahahan di negara maju berkembang sangat pesat karena dukungan yang penuh dari pemerintah (baik kebijakan industri maupun finansialnya) dan iklim ekonomi yang menunjang perkembangannya.

Di beberapa kawasan muncul negara sebagai kekuatan baru dengan disertai peralatan militer yang canggih. India dan China merupakan contoh negara yang memiliki kekuatan militer sekaligus kekuatan ekonomi yang tangguh. Mereka memanfaatkan kemajuan Iptek untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus menggiatkan industri pertahanannya.

China mengembangkan kemampuan militer yang berteknologi tinggi dengan membangun angkatan bersenjata yang terkomputerisasi, kemampuan tempur berbasis teknologi informasi, dan didukung oleh prajurit dengan jumlah yang besar dan berkualitas. Sedangkan India dengan kemajuan elektroniknya berhasil mengembangkan pembuatan pesawat, helikopter, dan rudal yang cukup disegani.

Dengan Iptek, sistem persenjataan dan alat peralatan baru dapat diciptakan untuk mendukung keperluan militer/pertahanan yang lebih handal, lebih akurat, dan lebih cepat dan fleksibel pengerahannya. Teknologi dalam memproduksi persenjataan dan alat peralatan tersebut terus berkembang sejalan dengan perkembangan Iptek.

3. Kondisi Pertahanan Indonesia Saat Ini.
Walaupun sejumlah keterbatasan yang dihadapi dalam pembangunan kekuatan pertahanan dan ancaman militer akan semakin jarang terjadi dimasa depan, Indonesia perlu terus meningkatkan kemampuan pertahanan militer baik di darat, laut maupun udara, untuk memberikan jaminan keamanan nasional. Pembangunan pertahanan saat ini belum dapat mewujudkan postur pertahanan yang kuat dan disegani dilihat dari jumlah dan kualitas peralatan militer/alutsista yang dimiliki. Kondisi peralatan pertahanan saat ini sangat memprihatinkan baik dari segi usia maupun kecanggihan teknologi. Alutsista yang dimiliki TNI rata-rata berusia lebih dari 20 tahun. Untuk kesiapan operasional alutsista dilakukan dengan repowering/retrofit dan dilakuan pembelian baru kalau dinilai sangat mendesak/dibutuhkan.

Perkembangan teknologi pertahanan Indonesia saat ini jauh ketinggalan bila dibandingkan dengan perkembangan teknologi militer (Revolution in Military Affairs-RMA) dari negara-negara lain yang maju pesat dan dapat menciptakan sistem senjata baru yang memiliki daya rusak dan daya jangkau yang lebih besar dan lebih jauh serta lebih akurat. Sedangkan kebutuhan pemenuhan pemeliharaan, pengoperasian, maupun suku cadang alutsista masih bergantung pada negara-negara lain. Dari aspek profesionalisme, kualitas sumber daya manusia dan tingkat kesejahteraan prajurit belum memenuhi kebutuhan yang diharapkan. Oleh karena itu, kondisi kekuatan pertahanan Indonesia saat ini jauh di bawah kebutuhan pokok, bahkan di bawah kekuatan pokok minimal (minimum essential force) sekalipun.

Disamping itu, alokasi APBN untuk sektor pertahanan dan keamanan memperoleh prioritas ketiga setelah sektor perekonomian dan sektor kesejahteraan. Alokasi anggaran pertahanan dalam lima tahun terakhir ini cenderung menurun bila dihadapkan pada APBN maupun PDB. Kecenderungan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

(dalam jutaan rupiah)

2004 2005 2006 2007 2008 2009
PDB 2.004.347,83 2.190.796,70 3.035.781,00 3.531.087,50 4.681.877,90 5.318.461,54
ALOKASI 21.711,69 23.108,10 28.299,18 32.640,06 32.871,08 33.667,62
%PDB 1,08% 1,05% 0,93% 0,92% 0,70% 0,63%
2004 2005 2006 2007 2008 2009
APBN 374.351,26 397.769,30 647.667,82 763.570,80 989,493,80 1.037.100,00
ALOKASI 21.711,69 23.108,10 28.299,18 32.640,06 32.871,08 33.667,62
%APBN 5,80% 5,81% 4,36% 4,27% 3,32% 3,25%
(dalam jutaan rupiah)

Kondisi tersebut tidak mencukupi untuk melakukan pemenuhan dan modernisasi alutsista serta peningkatan profesionalisme TNI. Hal ini berakibat terhadap kekuatan pertahanan yang berada dibawah standar penangkalan dan berada dibawah kekuatan pokok minimal.

4. Upaya Penguasaan dan Penerapan Iptek untuk Pertahanan Negara.

Paradigma pembangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia sedang menuju pembangunan berbasis sumber daya masyarakat berpengetahuan (knowledge based society). Proses ini berimplikasi pada berbagai bidang pembangunan, termasuk pembangunan teknologi pertahanan. Sebagai bagian utama dari knowledge based society, Ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas dan kebutuhan hidup manusia dengan mendayagunakan sumber daya yang ada disekelilingnya.

Prioritas pembangunan Iptek ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009, dan Kebijakan Strategis Pembangunan Nasional (Jakstranas) Iptek 2005-2009, menempatkan bidang teknologi pertahanan dan keamanan pada urutan ke 5 dari enam skala prioritas, dengan arah kebijakan terutama untuk memenuhi kebutuhan alutsista, meningkatkan kapabilitas Iptek Hankam dan memberikan peluang kepada industri strategis (nasional) untuk berperan dalam pengembangan Iptek Hankam. Pembangunan Iptek ini selaras dengan yang digariskan Undang-undang, yaitu :

- Undang-undang Dasar 1945 pasal 31 ayat (5) menyatakan bahwa pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

- Undang-undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, pasal 23 ayat (1) menyatakan bahwa dalam rangka meningkatkan kemampuan pertahanan negara, pemerintah melakukan penelitian dan pengembangan industri dan teknologi di bidang pertahanan.

Pengembangan Iptek untuk Pertahanan

Suatu negara yang memiliki kekuatan pertahanan yang tangguh dengan didukung oleh kecanggihan alutsista akan memiliki bargaining power dan disegani oleh negara lain. Amerika Serikat dengan kecanggihan alutsista dan besarnya anggaran pertahanan yang dialokasikan ($ 711 billions) membuat Amerika Serikat memiliki peran penting baik di kawasan regional maupun internasional.

Pada dasarnya, perang dimasa mendatang adalah ”perang otak” atau sering disebut perang daya saing. Perang ini mengandalkan kreatifitas intelektual untuk mengalahkan negara lain dalam persaingan internasional. Untuk itu, setiap negara dituntut untuk memenangkan daya saing, sehingga perlu meningkatkan kemampuan teknologi, sumber daya manusia dan finansialnya.

Pembangunan kekuatan pertahanan Indonesia yang sedang dilakukan tidak terlepas dari perkembangan Iptek. Program pembangunan Iptek yang diarahkan untuk mendukung kepentingan pertahanan lebih menjurus pada terpenuhinya kebutuhan alutsista yang difokuskan pada teknologi pendukung, yaitu :

- Daya Gerak, meliputi Alat transportasi Darat, Laut dan Udara
- Daya Tempur, meliputi Senjata, Munisi Kaliber Besar dan dan Bahan Peledak, Roket dan Peluru Kendali
- Komando, Kendali, Komunikasi, Komputer dan Informasi (K4I), meliputi Alat Komunikasi, Surveilance, Penginderaan dan Navigasi
- Peralatan/Bekal Prajurit , meliputi Perlengkapan Operasi Personel

Pemberdayaan Sumber Daya Nasional

Untuk menghadapi ancaman yang semakin kompleks dan mewujudkan pemenuhan alutsista dari dalam negeri, memerlukan upaya multidimensional dalam penyelesaiannya, serta kebijakan pertahanan yang komprehensif (total defence). Kebijakan pertahanan tidak hanya cukup menggunakan pendekatan militer namun perlu dintegrasikan dengan melibatkan seluruh komponen bangsa, terutama pendekatan nir militer, seperti aspek-aspek ekonomi, sosial, budaya, politik dan lingkungan hidup. Keterlibatan komponen bangsa tersebut merupakan manisfestasi dari Sistem Pertahanan Semesta yang penyelenggaraannya didasarkan pada kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara serta keyakinan pada kekuatan sendiri.

Untuk menyiapkan sumber daya manusia yang handal dalam penguasaan dan penerapan Iptek bidang pertahanan diperlukan kerjasama sinergis antara pengguna teknologi, lembaga penelitian dan pengembangan, perguruan tinggi dan industri. Kerjasama tersebut akan mendorong percepatan menuju kemandirian nasional dalam bidang penguasaan dan pengembangan teknologi pertahanan, karena selama ini pemenuhan alutsista dan sarana pertahanan negara lainnya sangat tergantung dari pengadaan luar negeri. Hal ini disebabkan potensi kemampuan industri nasional masih belum diberdayakan secara maksimal.


a. Pengguna/pemerintah
Pemerintah/Dephan memperhatikan perkembangan industri pertahanan dan industri nasional untuk mendukung pemenuhan kebutuhan alutsista dan alat pertahanan lainnya dengan memfasilitasi pertumbuhan industri pertahanan dan industri nasional yang berkaitan dengan bidang pertahanan. Hal ini merupakan implementasi dari pasal 20, ayat (2), UU Pertahanan Negara, menyatakan segala sumber daya nasional yang berupa sumber daya manusia, sumber daya alam dan buatan, nilai-nilai, teknologi dan dana dapat didayagunakan untuk meningkatkan kemampuan pertahanan negara.

b. Lembaga Litbang
Lembaga penelitian dan pengembangan memiliki peran sangat penting dalam mendukung penguasaan teknologi. Pada saat ini, peran sebagian besar lembaga penelitian dan pengembangan nasional masih belum menjadi kekuatan utama dalam pencapaian keunggulan teknologi. Untuk itu, lembaga Litbang harus diberdayakan untuk dapat menghasilkan yang dapat digunakan bagi pembangunan pertahanan negara. Pemberdayaan Litbang ini dapat dilakukan dengan metoda penguasaan teknologi yaitu Alih Teknologi, Forward Engineering, dan Reverse Engineering.

c. Perguruan Tinggi
Dalam rangka menuju kemandirian teknologi pertahanan diperlukan penguasaan teknologi dan aktivitas penelitian dan pengembangan yang didukung oleh sumber daya manusia dengan kualitas dan kuantitas yang memadai. Sedangkan untuk mencetak SDM yang memiliki keahlian dalam bidang-bidang yang berkaitan dengan teknologi pertahanan tidak terlepas dari peran lembaga pendidikan formal dan non formal.

Perguruan Tinggi sebagai salah satu lembaga pendidikan formal sangat berperan dalam pembentukan SDM yang berkualitas. Untuk itu, diperlukan perguruan tinggi dan sarana pendidikan yang dapat mewujudkan SDM yang memiliki kompetensi dalam Iptek Pertahanan.

Baru-baru ini, Departemen Pertahanan mendirikan Universitas Pertahanan (Unhan). Sebagai lembaga intelektual pertahanan (defence intellectual agency), pendirian Unhan bertujuan meningkatkan kualitas pendidikan di bidang pertahanan dan menjadi sumber penyiapan calon pemimpin masa depan baik dari kalangan militer maupun sipil khususnya yang akan menduduki sejumlah posisi penentu kebijakan strategis nasional.

d. Industri Pertahanan dan Industri Nasional

Pengembangan Iptek dalam industri pertahanan bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan alutsista dan mewujudkan kemandirian industri pertahanan. Industri pertahanan merupakan bagian dari industri nasional yang pengembangannya harus dilakukan secara komprehensif, agar terjadi sinergi dan efesiensi secara nasional. Untuk mendapatkan efisiensi dan efektivitas, pengembangan industri sipil diarahkan juga untuk mendukung kebutuhan industri pertahanan. Sebagian industri nasional telah dapat terintegrasi dan berperan ganda, yaitu sebagai industri penghasil peralatan pertahanan dan keamanan, sekaligus industri penghasil peralatan sipil.

e. Kerjasama Kelembagaan.

Membangun kerjasama kelembagaan dengan pihak luar dalam berbagai bentuk kegiatan seperti pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan, akuisisi dan kerjasama lain untuk meningkatkan kemampuan dalam pemenuhan alutsista.




5. Penutup.

Penguasaan dan penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dapat mendukung pembangunan kekuatan pertahanan negara.

Kemajuan Iptek dapat mendorong pertumbuhan industri pertahanan dan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi nasional yang merupakan dampak dari ”multiplier effect”.

Dengan demikian, penguasaan dan penerapan Iptek dapat memperkuat pertahanan negara sekaligus mendukung pertumbuhan ekonomi nasional selanjutnya dapat meningkatkan martabat bangsa dan ketahanan nasional.

(Written by Prof. Dr. Ir. Budi Susilo Soepandji, DEA*)

Kamis, 11 Juni 2009

PERAN MASYARAKAT DAN SWASTA
SEBAGAI SUMBER DAYA BANGSA
GUNA MENDUKUNG SISTEM PERTAHANAN NEGARA


GAGASAN
KORPS PENDIDIKAN PERWIRA CADANGAN


Disampaikan Oleh:
Ir. Arifin Panigoro
Alumni Menwa Mahawarman

Pada Seminar Hari Ulang Tahun Ke-50 Menwa Mahawarman:
“STRATEGI DAN SUMBER DAYA BANGSA
MENGHADAPI PERANG MODERN”



Tugas bela negara bukanlah semata-mata tanggung-jawab tentara.
Pasal 30 Ayat 1 UUD 1945 secara tegas menyebutkan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara”.

Selama kita 64 tahun menjalani kehidupan bernegara yang merdeka, berbagai gagasan tentang sistem pertahanan negara telah kita kembangkan.
Sebuah acuan yang kini berlaku ialah UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
Ketentuan umum pada Pasal 1 Ayat 2 UU tersebut menyebut adanya “sistem pertahanan semesta yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman”.

Merujuk pada pasal itu, jelas bahwa warga masyarakat dan swasta (korporasi) sebagai sumber daya nasional dilibatkan dalam sistem pertahanan negara, paling tidak sebagai Komponen Cadangan seperti dimaksud dalam Ayat 6, atau Komponen Pendukung (Ayat 7). Ada pun TNI berperan sebagai Komponen Utamanya (Ayat 5).

Pada bagian penjelasan UU Nomor 3 Tahun 2002 itu dikatakan bahwa dalam era globalisasi ini, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi komunikasi-informas i sangat mempengaruhi pola dan bentuk ancaman. Ancaman atas kedaulatan negara yang semula bersifat konvensional (militer) kini berkembang menjadi multi-dimensional (militer dan nir-militer) , dengan sumber ancaman dari dalam dan luar negeri.

Ancaman yang bersifat multi-dimensional tersebut bisa berupa penetrasi ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, maupun gangguan keamanan yang terkait dengan kejahatan internasional, antara lain terorisme, imigran gelap, bahaya narkotika, pencurian kekayaan alam, bajak laut, dan perusakan lingkungan.

Dengan demikian, permasalahan pertahanan menjadi begitu kompleks.
TNI sendiri telah mengembangkan diri untuk menghadapi tantangan baru itu, antara lain dengan doktrin Operasi Militer Bukan Perang (Military Operation Other Than War, MOOW), yakni pengerahan kapasitas militer untuk operasi non-tempur. Toh, jangkauan operasi ini terbatas.
Dengan begitu, tantangan baru ini menuntut tanggung jawab semua instansi yang terkait, baik instansi pemerintah, lembaga non-pemerintah, bahkan masyarakat luas.

Dalam konteks ini, di mana peran masyarakat dan swasta (lembaga non-pemerintah) ?

UU Nomor 3 Tahun 2002 itu sendiri jelas mengklasifikasikan bala pertahanan negara yang tergolongkan pada tiga kelompok, yakni Komponen Utama (TNI), Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung.
Hal ihwal tentang Komponen Cadangan itu kini sudah tertuang dalam RUU tentang Komponen Cadangan Pertahanan Nasional yang draft akademisnya telah berada di tangan DPR.
Sedangkan Komponen Pendukung belum jelas betul sosoknya.

Menurut draft yang ada, Komponen Cadangan pertahanan negara itu disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi umum guna meningkatkan kapasitas Komponen Utama (TNI).
Karena mengandung frasa “mobilisasi umum”, draft tersebut dikesankan sebagai RUU Wajib Militer.

Sementara itu, RUU yang sama menyebutkan bahwa Komponen Pendukung adalah sumber daya bangsa yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan Komponen Utama dan Komponen Cadangan. Dan sementara ini disebut-sebut bahwa Resimen Mahasiswa masuk dalam kategori Komponen Pendukung ini.

Dengan demikian, untuk pertanyaan di mana peran masyarakat dan swasta dalam sistem pertahanan negara kita, jawabnya adalah pada Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung.
Namun, yang lebih utama adalah pertanyaan bagaimana pelembagaan dari Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung itu sendiri agar penggunaan sumber daya pertahanan kita bisa lebih efektif dan efisien. Atau dengan kata lain, lebih ekonomis.

Salah satu pendekatan untuk membangun postur dan kelembagaan yang efektif atas Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung itu ialah secara interaktif memadukan gagasan yang muncul dengan hakekat ancaman terhadap pertahanan itu sendiri. Dan hakekat ancaman ini pun berubah secara dinamis dari masa ke masa.

Di sinilah pentingnya disusun sebuah Strategic Defense Review (SDR) yang punya kedalaman, hingga bisa menyentuh profil gangguan pada jangka pendek, menengah maupun jangka panjang.
SDR harus menjadi acuan bagi upaya membangun sistem Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung yang tangguh namun sekaligus ekonomis.

Dari situlah kemudian kita pertanyakan apakah kata kunci “mobilisasi umum” pada RUU Komponen Cadangan Pertahanan Nasional itu bisa membangun sebuah kekuatan yang efektif. Ini tentu bisa kita perdebatkan.
Tetapi yang jelas, mobilisasi umum akan memakan biaya besar. Bukankah ongkos besar itu akan lebih baik bila sebagian digunakan untuk memperkuat kapasitas komponen utama yang ada. Misalnya, untuk kesejahteraan prajurit, pemeliharaan alutsista, dan pemeliharaan kesamaptaan teknis.


Pemberdayaan Menwa

Ongkos membangun sebuah kekuatan cadangan akan lebih kecil bila kita memanfaatkan “bahan baku” yang lebih siap pakai.

Pengalaman kita selama 50 tahun dengan Resimen Mahawarman membuktikan bahwa kita seharusnya bisa memetik sumber daya yang lebih siap pakai untuk keperluan pertahanan negara dari Korps Baret Ungu tersebut. Namun, sejarah menunjukkan bahwa kita telah menyia-nyiakan kapasitas lebih dari Resimen Mahasiswa.
Padahal kita bisa membayangkan betapa besar sebetulnya manfaat yang bisa diraih bila para anggota dan alumni Menwa itu diberdayakan secara sistemik dalam upaya bela negara.

Pada uraian di atas sudah disebutkan bahwa dalam tatanan yang akan dibangun, posisi anggota Korps Baret Ungu yang mahasiswa aktif maupun para alumninya berada pada jenjang Komponen Pendukung.
Namun, para anggota Resimen Mahasiswa itu bisa kita tingkatkan kompetensinya untuk memasuki jenjang Komponen Cadangan, melalui suatu bentuk Korps Pendidikan Perwira Cadangan (Reserve Officer Training Corps, ROTC).
Dalam program ini, ketika anggota menwa lulus dari bangku perguruan tinggi, mereka bukan saja menyandang gelar sebagai sarjana (S-1), namun lebih dari itu mereka juga menjadi seorang perwira militer, yaitu Letnan Dua Cadangan.

Kita tinggal mensinkronkan, agar para anggota menwa tersebut mengambil kuliah dan latihan kemiliteran yang tersistem dalam Satuan Kredit Semester (SKS), sehingga memiliki bekal pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skill) sebagai perwira militer.
Sedangkan sikap postur (attitude) sebagai perwira, dibentuk dalam kegiatan sebagai warga Korps, yang merupakan transformasi kegiatan kemenwaan yang kita lakukan selama ini.

Setelah lulus sebagai perwira, para alumni Menwa yang sekaligus Perwira Cadangan itu akan terjun ke masyarakat, baik sebagai profesional, wirausaha, pegawai negeri, atau bahkan pekerja seni misalnya. Tetapi sekaligus mereka pun langsung masuk ke dalam jajaran kekuatan Komponen Cadangan.
Dalam suasana damai, pekerjaan apa pun yang mereka jalani tak menghilangkan hak dan kewajiban mereka sebagai anggota satuan Komponen Cadangan. Tentunya dengan terlebih jauh mengatur kewenangan, hak dan kewajiban mereka, serta kelembagaan yang akan mengendalikan mereka sebagai bagian dari kekuatan Komponen Cadangan.

Dengan mencetak perwira dari perguruan tinggi itu, yang merupakan peran serta masyarakat yang nyata dalam pembentukan sumber daya manusia bela negara yang berbasiskan tingkat kesukarelaan yang tinggi, beban biaya yang harus ditanggung negara juga akan lebih ringan.

Belum lagi, dari aspek kecabangan militer, perwira dari “hasil cetakan” perguruan tinggi itu akan lebih beragam dan lebih siap menghadapi berbagai aspek perang multi-dimensional. Di sinilah ada imbal-balik dari segi mutu.
Boleh jadi, dari aspek kemiliteran inti, seperti aspek ke-infantri- an, kualitas perwira cetakan universitas itu mungkin tak se-‘trengginas’ dari akademi militer. Namun dari segi kecabangannya, mereka bisa diharapkan akan lebih mumpuni, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diikuti dengan lebih intens oleh dunia perguruan tinggi.

Perusahaan-perusaha an swasta nasional (korporasi nasional), bahkan juga multi-nasional, bisa berpartisipasi dalam mendidik sumber daya manusia siap pakai ini, dengan skema beasiswa atau ikatan dinas, misalnya. Korporasi tidak akan rugi karena ikut mencetak sarjana plus, yang pada saatnya akan memperkuat jajaran sumber daya manusia mereka.

Lulusan universitas yang sekaligus telah meraih kualifikasi perwira itu jelas akan memiliki kelebihan dibanding sarjana pada umumnya.
Mereka tak hanya telah memiliki bekal intelegensia sesuai disiplin ilmunya, lebih dari itu mereka juga telah menerima gemblengan nilai-nilai keperwiraan yang akan diperlukan dalam organisasi apapun. Aspek leadership misalnya. Belum lagi soal disiplin dan penghormatan atas hirarki. Pihak korporasi akan memperoleh tenaga yang lebih andal dan bertanggung jawab.

Lepas dari soal silang-pendapat domain operasional antara pertahanan dan keamanan, yang implementasinya adalah pembagian kerja antara TNI dan Polri, perwira-perwira lulusan perguruan tinggi itu bisa diharapkan akan lebih efektif dalam menangkal bahaya narkotika, illegal logging, illegal fishing, trafficking, imigran gelap, perusakan lingkungan dan gangguan-gangguan lainnya yang berbasiskan teknologi tinggi.

Dengan cara pandang yang sama, kelompok-kelompok sumber daya dalam komponen pendukung, seperti pramuka, hansip, linmas, satpam, organisasi pemuda, cabang olahraga tertentu, kelompok pencinta alam, bahkan satgas partai, bisa pula diberdayakan untuk menunjang kekuatan Komponen Cadangan. Mereka bisa difungsikan sesuai kompetensinya masing-masing, di bawah pimpinan dan pembinaan para perwira cadangan.


Penutup

Kenyataan bahwa RUU Komponen Cadangan Pertahanan Nasional tak kunjung dibahas di DPR, meskipun draftnya sudah muncul sejak 2005, agaknya itu tak lepas dari kebimbangan banyak fihak tentang implementasinya bila draft tersebut menjadi undang-undang.
Ada konsekuensi biaya yang besar dan ada pula kerumitan dalam penyusunan kelembagaannya.

Pemberdayaan Menwa dan para alumninya itu tampaknya bisa menjadi terobosan, di tengah situasi nyata bahwa Komponen Utama pertahanan negera kita cukup kepayahan menghadapi berbagai gangguan yang mengancam pertahanan nasional kita.
Bila hal tersebut berlangsung berlarut-larut, kedaulatan negara menjadi taruhannya.

Sabtu, 06 Juni 2009

Komponen Cadangan.....Why Not ?


Komponen cadangan atau yang disebut wajib militer atau bela negara sangat diperlukan untuk mendukung komponen utama, dalam hal ini TNI, untuk mempertahankan kedaulatan negara dari berbagai macam ancaman, halangan dan rintangan baik dari dalam atau luar negeri. Membentuk komponen cadangan atau wajib militer harus segera dilakukan bagi setiap warga negara Indonesia diatas 17 tahun dan memenuhi syarat.

Mengapa demikian ???

Adanya komponen cadangan atau wajib militer menjadi aktual dan mendesak ditengah kondisi bangsa Indonesia saat ini yang masih terpuruk diberbagai bidang, minim prestasi, krisis multi dimensi, kriminalitas cenderung meningkat, korupsi yang merajalela, mafia peradilan, banyak tindak asusila, dan hal-hal lain yang tidak sesuai dengan budaya bangsa.

Hal-hal yang buruk di atas telah menurunkan citra Indonesia dimata Internasional, yang menyebabkan iklim investasi tidak kondusif, perlakuan yang kurang menyenangkan di luar negeri, kurang kompetitifnya produksi yang dihasilkan pengusaha Indonesia di luar negeri dan sebagainya.

Kondisi yang tidak nyaman diatas harus segera diatasi, tentu dengan mengerahkan segala potensi yang ada pada diri bangsa Indonesia, sehingga Indonesia menjadi negara yang bermartabat, maju, disegani dan menjadi contoh bagi negara lain.Salah satu solusinya dalah dengan membentuk komponen cadangan atau wajib militer. Dengan adanya wajib militer diharapkan setiap warga negara akan berdisiplin tinggi, punya integritas tinggi terhadap negara dan bangsanya sehingga dapat meredam konflik antar etnis maupun agama, mempunyai kesadaran tinggi untuk menjaga keamanan lingkungan, mempunyai tanggung jawab besar dalam memajukan negara, mempunyai kemampuan memadai untuk bela negara bila ada serangan, kemampuan bertahan hidup dalam kondisi apapun dengan tetap teguh memegang aturan positip yang ada.dan sebagainya.

Komponen cadangan atau wajib militer harus segera dilaksanakan untuk memperkuat kedaulatan kedalam dalam arti penegakan aturan yang ada sekaligus meningkatkan performa dan posisi tawar Indonesia dimata Internasional. Jadi…, Ayo Bangkit Indonesia …!!!

KASUS AMBALAT


Hubungan Indonesia dan Malaysia pada akhirnya mengalami titik terendah, setelah dibukanya kembali hubungan diplomatik yang pernah terputus selama 5 tahun pada tahun 1967. Pada tahun 60-an, slogan GANYANG MALAYSIA adalah slogan yang sangat popular bagi bangsa Indonesia ketika itu. Dan slogan ini muncul kembali di seantero Indonesia, ketika Malaysia mendeklarasikan klaim sepihak terhadap Ambalat, berdasar peta yang dibuatnya sendiri pada tahun 1979.

Para politikus maupun para ahli Hukum internasional menyatakan, bahwa Malaysia terlalu ‘percaya diri’ karena telah berhasil ‘mencaplok’ pula Sipadan dan Ligitan. Padahal kasus Ambalat sangat berbeda dengan kasus Sipadan dan Ligitan. Keberadaan Malaysia secara terus menerus mengelola (defacto) Sipadan dan Ligitan serta kemampuan mereka mengamankan ekologi kedua pulau tersebut, menjadi pertimbangan Mahkamah Internasional memberikan kepemilikan kedua pulau tersebut kepada Malaysia.

Terhadap kasus Ambalat, kejadiannya sangat berbeda. Indonesia telah secara terus menerus mengklaim wilayah tersebut sejak zaman penjajah Belanda. Indonesia adalah Negara Kepulauan (archipelagic state) Deklarasi Negara Kepulauan ini telah dimulai ketika diterbitkan Deklarasi Djuanda tahun 1957, lalu diikuti Prp No. 4/1960 tentang Perairan Indonesia. Deklarasi Negara Kepulauan ini juga telah disahkan oleh The United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982 Bagian IV. Isi deklarasi UNCLOS 1982 antara lain ‘di antara pulau-pulau Indonesia tidak ada laut bebas, dan sebagai Negara Kepulauan, Indonesia boleh menarik garis pangkal (baselines) dari titik-titik terluar pulau-pulau terluar. Malaysia bukanlah negara kepulauan, namun sebagai negara pantai biasa yang hanya boleh memakai garis pangkal biasa (normal baselines) atau garis pangkal lurus (straight baselines) jika syarat-syarat tertentu dipenuhi. Oleh karena itu, Malaysia seharusnya tidak menyentuh Ambalat, karena Malaysia hanya bisa menarik baselines dari Negara Bagian Sabah, bukan dari pulau Sipadan dan Ligitan. Jika Malaysia berargumentasi ‘tiap pulau berhak mempunyai laut territorial, zona ekonomi eksklusif dan landas kontinennya sendiri’ , maka menurut UNCLOS pasal 121, hal itu dapat dibenarkan. Namun rezim penetapan batas landas kontinen mempunyai specific rule yang membuktikan keberadaan pulau-pulau yang relatively small, socially and economically insignificant tidak akan dianggap sebagai special circumtation dalam penentuan garis batas landas kontinen. Beberapa yurisprudensi hukum internasional telah membuktikan dipakainya doktrin itu (Melda Kamil Ariadno).

Kasus Ambalat memang merupakan ujian berat bagi Indonesia dalam hubungannya dengan Malaysia, negara serumpun yang selalu ‘berulah’. Kaya dan didukung oleh negara persemakmuran (commonwealth), membuat Malaysia terlalu percaya diri. Kasus TKI illegal, yang menurut ukuran moral Indonesia sangat memalukan, karena Malaysia dinilai sadis, ringan tangan dan tak berperikemanusiaan serta pencurian kayu (illegal logging) oleh cukong-cukong mereka, adalah contoh nyata bahwa Malaysia sebenarnya ‘bukanlah negara jiran yang baik’.

Damai atau Perang

Malaysia mempunyai segala-galanya, uang, diplomasi dan militer yang cukup tangguh. Kapanpun mereka butuh peralatan militer, mereka bisa membelinya secara cash and carry, baik melalui pasaran resmi maupun gelap (ingat: Malaysia senang dengan pemutihan illegal logging). Dari sisi diplomasi, Malaysia telah membuktikan dirinya ‘mampu merebut pulau Sipadan dan Ligitan’ dari tangan Indonesia. Dari sisi militer, Malaysia mempunyai kuantitas dan kualitas di atas rata-rata yang dipunyai Indonesia. Di samping itu, sebagai anggota negara persemakmuran (commonwealth), Malaysia kemungkinan akan mendapat bantuan militer dari para anggota negara persemakmuran, karena di antara mereka ada suatu traktat kerjasama militer, jika terjadi serangan kepada salah satu anggotanya.

Indonesia sudah berulangkali meminta Malaysia untuk merundingkan batas landas kontinen antar kedua negara, namun Malaysia tidak pernah menanggapinya secara serius. Tawaran Indonesia tersebut diajukan karena Malaysia telah membuat peta sepihak yang dibuat tahun 1979, yang jelas-jelas menyalahi hukum internasional. Bisa jadi, diamnya Malaysia adalah menunggu saat yang tepat untuk mengajukan klaim atas Ambalat, setelah pulau Sipadan dan Ligitan ‘direbut’. Sebagaimana dijelaskan dalam awal tulisan ini, UNCLOS sendiri ‘membenarkan’ klaim tersebut, walaupun masih harus dibarengi dengan beberapa persyaratan. Rasa percaya diri yang tinggi atas kemenangan klaim Sipadan dan Ligitan, membuat Malaysia mabuk kepayang, dan terkesan rakus. Perdana Menteri, Wakil Perdana Menteri maupun Menteri Luar Negeri Malaysia mempunyai andil besar dalam ragka pencaplokan Ambalat. Mereka bertiga secara bersama-sama selalu menekankan bahwa mempertahankan kedaulatan territorial Malaysia adalah sangat penting, dan kehadiran Menlu Malaysia ke Jakarta 9-10 Maret 2005 bukan untuk bernegoisasi. Ini artinya mereka tak menghendaki jalan diplomasi (baca: damai).

Sebaliknya Indonesia, dengan bukti-bukti yang sangat kuat tak akan mungkin mundur selangkah pun untuk mempertahankan Ambalat. Prof. Dimyathi Hartono, pakar hukum internasional menyatakan bahwa secara yuridis, Indonesia, kali ini lebih kuat kedudukannya, dibandingkan ketika bersengketa terhadap pulau Sipadan dan Ligitan. Prof. Hasyim Jalal menyatakan bahwa blok Ambalat dan Ambalat Timur yang diklaim Malaysia merupakan kelanjutan alamiah dari daratan Kalimantan Timur. Antara Sabah Malaysia dengan kedua blok tersebut terdapat laut dalam yang tak mungkin bisa dikatakan bahwa kedua blok itu kelanjutan alamiah Sabah. Sedangkan kelanjutan alamiah dari daratan merupakan kewenangan negara atas wilayah laut yang tercantum dalam Konvensi Hukum Laut Internasional tahun 1982. Dengan demikian, Indonesia mempunyai posisi yuridis yang sangat kuat, dan bila Malaysia tetap ngotot, maka jalan tengah yang paling baik adalah ke Mahkamah Internasional Sikap Malaysia yang terkesan arogan, baik mengenai TKI, illegal logging, maupun klaim Ambalat memicu emosi bangsa Indonesia, sehingga sejarah ganyang Malaysia yang terjadi pada tahun 1963, terulang lagi. TNI pun sudah siap untuk mempertahankan kesatuan NKRI. Bila terjadi perang, Malaysia harus berpikir panjang. Indonesia cukup kenyang mengalaminya, yaitu selama 350 tahun, walaupun menurut data, Malaysia mempunyai peralatan perang cukup canggih dengan kuantita yang sangat signifikan. Perang tidak akan dapat diselesaikan dalam waktu singkat, bisa sehari, namun juga bisa berpuluh tahun bahwa ratusan tahun. Dalam hal perang gerilya, hanya ada dua negara di dunia yang ahli dalam bidang itu, yaitu Indonesia dan Vietnam. Namun yang jelas, perang pasti akan merugikan keduanya, baik dari segi materi, psikologi, maupun moral kedua bangsa. Oleh karena itu, baik Malaysia maupun Indonesia harus mengedepankan upaya damai, dan upaya damai bukan berarti mengalah. Damai dalam arti keduanya harus mengerti benar tentang posisi masing-masing, baik dari segi yuridis (hukum internasional) maupun moral Islam.
Adapun hikmah yang dapat dipetik terhadap peristiwa berurutan berkaitan dengan sikap arogansi Malaysia adalah, bahwa bangsa Indonesia telah jatuh ‘marwahnya’ di mata internasional, khususnya di bidang ekonomi dan pertahanan nasional, di samping korupsi yang semakin merajalela. Dengan dasar itu, Malaysia dengan sangat berani menantang Indonesia, apalagi setelah memperoleh kemenangan atas Sipadan dan Ligitan. Oleh karena itu, Indonesia harus segera memprioritaskan, baik jangka pendek, menengah atau panjang memperkuat pertahanan nasional, dengan cara memperbaharui persenjataan TNI. Anggaran pertahanan yang semula sangat kecil, harus segera diperbesar, mengingat luasnya cakupan area yang harus diamankan dan dipertahankan.



Rembuk Nasional Alumni Menwa Indonesia dan Konponen Bela Negara


Mendagri Mardiyanto (2 kiri), selaku Inspektur upacara, disambut Ketua Umum alumni Menwa (Resimen Mahasiswa) Indonesia Agustomo (kanan) pada acara Rembuk Nasional Alumni Menwa Indonesia dan Konponen Bela Negara dalam rangka peringatan ke -59 Hari Bela Negara, di Silang Monas Jakarta, Jumat (20/2). Ucapara tersebut dihadii tiga puluh ribu peserta dan para alumni menwa dari barbagai daerah. Menwa mulai dikenal pada era Soeharto berkuasa, dan pernah dituding sebagai salah satu upaya Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi kemahasiswaan (NKK/BKK), untuk menjauhkan mahasiswa dari kehidupan politik praktis.

Menwa Harus Jadi Komponen Cadangan Pertahanan Negara


BERITAJAKARTA.COM — 20-02-2009 13:39 Sebagai komponen terlatih, resimen mahasiswa (Menwa) mendesak Departemen Pertahanan (Dephan) dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) agar menempatkan unsur Menwa dan alumni sebagai satu kesatuan komponen cadangan pertahanan negara. Karena itu, kedua unsur lembaga tinggi negara tersebut diharapkan dapat mengkaji kedudukan Menwa dan alumni di dalam rancangan Undang-undang (RUU) Komponen Cadangan Pertahanan Negara.

Demikian salah satu pernyataan sikap Menwa dan alumni yang tergabung dalam Alumni Resimen Mahasiswa Indonesia (ARMI), saat Apel Besar Alumni Menwa se-Indonesia dalam rangka memperingati hari Bela Negara ke-59 di Lapangan Silang Monas, Jakarta Pusat, Jumat (20/2). Selain menyampaikan permintaan tersebut, Menwa dan ARMI juga menyampaikan sejumlah pernyataan sikap lain, diantaranya mendesak kepada penyelenggara negara agar mendefinisikan kembali arah reformasi sesuai dengan Pembukaan UUD-45 dengan tetap mempertahankan nilai-nilai dasar budaya bangsa.

Kemudian Menwa dan ARMI juga mengimbau kepada masyarakat agar tidak mudah terpengaruh oleh arus globalisasi yang dapat merusak budaya bangsa dengan mengatasnamakan demokrasi, hak azasi manusia, maupun lingkungan hidup. Menwa dan ARMI juga mendesak kepada penyelenggara negara agar selalu waspada terhadap berbagai bentuk ancaman dan gangguan. Karena itu, peyelenggaran negara harus memberikan pembekalan pendidikan bela negara non militer sedini mungkin. Terakhir, Menwa dan ARMI siap mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa sesuai nilai-nilai kejuangan, kompetensi dasar, dan keterampilan yang ada.

Menteri Dalam Negeri, Mardiyanto, yang bertindak sebagai Inspektur Apel Akbar, mengaku sangat bangga dengan pernyataan sikap yang disampaikan Menwa serta alumninya.

Pernyataan sikap Menwa dan ARMI ini, menurut Mardiyanto, sangat penting mengingat saat ini banyak generasi muda yang telah lupa dan seakan larut dalam globalisasi. Padahal, di tengah derasnya arus globalisasi, bangsa Indonesia membutuhkan peran serta anak bangsa dalam membangun negara, khususnya dalam mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa.

Karena itu, ia berharap kepada Menwa dan ARMI dapat memberikan pemikiran-pemikiran yang segar kepada negara serta mampu mendidik kader-kader muda sehingga memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi. "Wawasan kebangsaan dengan upaya bela negara perlu ditingkatkan untuk memperkokoh dan mempertahankan keutuhan NKRI," ujar Mardiyanto.

Resimen Mahasiswa Indonesia


Resimen Mahasiswa (Menwa) adalah salah satu di antara sejumlah kekuatan sipil untuk mempertahankan negeri. Ia lahir di perguruan tinggi sebagai perwujudan Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata), beranggotakan para mahasiswa yang merasa terpanggil untuk membela negeri. Para anggota Menwa (wira) di setiap kampus membentuk satuan, yang disebut Satuan. Sebagai salah satu unit kegiatan kemahasiswaan, komandan satuan melapor langsung kepada rektor/pimpinan perguruan tinggi.

Lambang Resimen Mahasiswa


Lambang Sembilan Unsur Resimen Mahasiswa Indonesia

Komponen Lambang Sembilan Unsur

  • Perisai Segilima

Menggambarkan keteguhan sikap

  • Padi dan Kapas

Menggambarkan dasar bernegara dan pandangan hidup bangsa Indonesia, yaitu Pancasila.

  • Bintang , Sayap Burung , Jangkar dan Lambang Polri

Resimen Mahasiswa berada di bawah naungan ketiga unsur angkatan dan Polri

  • Pena dan Senjata

Di dalam pengabdiannya, wira melakukan keselarasan antara ilmu pengetahuan dan ilmu keprajuritan.

  • Buku Tulis

Tugas pokok setiap wira adalah mengembangkan ilmu pengetahuan, di samping melaksanakan tugas-tugas kemenwaan.

Warna Kebanggaan

Resimen Mahasiswa Indonesia menggunakan baret ungu. Dalam aplikasinya di lingkungan Menwa, warna ini mempunyai arti :

  • Mulia
  • Berpengetahuan
  • Terpelajar

Panca Dharma Satya

Panca Dharma Satya adalah janji Resimen Mahasiswa Indonesia :

  1. Kami adalah mahasiswa warga Negara, Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
2. Kami adalah mahasiswa yang sadar akan tanggung jawab serta kehormatan akan pembelaan negara dan tidak mengenal menyerah.
3. Kami Putra Indonesia yang berjiwa ksatria dan bertakwa kepada Tuhan Yang Mahaesa serta
membela kejujuran, kebenaran dan keadilan.
4. Kami adalah mahasiswa yang menjunjung tinggi nama dan kehormatan Garba Ilmiah
dan sadar akan hari depan Bangsa dan Negara.
5. Kami adalah mahasiswa yang memegang teguh disiplin lahir dan batin, percaya pada diri sendiri dan mengutamakan kepentingan Nasional di atas kepentingan pribadi maupun golongan.

Semboyan

Semboyan Resimen Mahasiswa Indonesia adalah "Widya Castrena Dharmasiddha", berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti "Penyempurnaan Pengabdian Dengan Ilmu Pengetahuan dan Ilmu Keprajuritan". Yang dimaksudkan oleh Ilmu Pengetahuan adalah segala macam cabang keilmuan yang didapat saat menjadi mahasiswa. Hal ini dipergunakan untuk menempuh jenjang karier, dengan tidak melupakan tujuan utama melakukan pengabdian pada masyarakat. Sedangkan Ilmu Keprajuritan adalah yang bersangkutan dengan jiwa keperwiraan, keksatriaan serta kepemimpinan, bukan sekadar keahlian dalam bertempur atau pun yang sejenis.

Sejarah

Tanggal 13 Juni - 14 September 1959 diadakan wajib latih bagi para mahasiswa di Jawa Barat. Mahasiswa yang memperoleh latihan ini siap mempertahankan home-front dan bila perlu ikut memanggul senapan ke medan laga. Mahasiswa-mahasiswa walawa (WAJIB LATIH) dididik di Kodam VI/ Siliwangi dan para walawa diberi hak mengenakan lambang Siliwangi.

Pada tanggal 19 Desember 1961 di Yogyakarta, Komando Pimpinan Besar Revolusi Presiden RI Bung Karno mencetuskan Trikora. Seluruh rakyat menyambut komando ini dengan gegap gempita dengan semangat revolusi untuk merebut Irian Barat; termasuk juga mahasiswanya.

Isi Trikora:

  1. Pantjangkan Sangsaka Merah Putih di Irian Barat
2. Gagalkan Negara Boneka Papua
3. Adakan Mobilisasi Umum

Sejak Trikora bergema maka kewaspadaan nasional makin diperkuat, makin memuncak sehingga timbul rencana pendidikan perwira cadangan di Perguruan Tinggi. Berdasarkan dua surat keputusan Pangdam VI Siliwangi, maka oleh pihak Universitas pada 20 Januari 1962 dibentuk suatu badan koordinasi yang diberi nama Badan Persiapan Pembentukan Resimen Serba Guna Mahasiswa Dam VI Siliwangi (disingkat BPP) Resimen Mahasiswa DAM VI/ Siliwangi, beranggotakan :

  1. Prof. drg. R. G. Surya Sumantri ( Rektor Unpad) selaku Koordinator
2. Dr. Isrin Nurdin (Pembantu Rektor ITB) selaku Wakil Koordinator I
3. Drs. Kusdarminto (PR Unpar) selaku wakil Koordinator II
4. Major. Moch. Sunarman dari PUS PSYAD pada waktu itu selaku sekretaris.

Pada Februari 1962 diadakan Refreshing Course selama sepuluh minggu di Resimen Induk Infantri dan dilanjutkan dengan latihan selama 14 hari yang dikenal dengan sebutan Latihan Pasopati. Pada 20 Mei 1962 anggota Resimen Mahasiswa Angkatan 1959 dilantik oleh Pangdam VI/SLW menjadi bagian organik dari Kodam VI/SLW. Dalam rencana kerja empat tahunnya tercantumlah pembentukan kader inti dan ini sudah terlaksana sejak permulaan semester 2 tahun ajaran 1962-1963. termasuk pembentukan kader inti putri. Mahasiswa/i Jabar (Bandung khususnya) mengikuti Latihan di Bihbul, tempat penggodokan prajurit-prajurit TNI. (Sekarang Secaba Dam III/ Slw, Bihbul). Satuan-satuan inti dari Yon mahasiswa dari beberapa universitas dan akademi dikirim ke tempat ini di bawah asuhan pelatih-pelatih dari RINSIL. 12 Juni 1964 keluarlah Surat Keputusan Menteri Koordinator Komponen Pertahanan dan Keamanan DR. A.H. Nasution Jenderal TNI yang mengesahkan Duaja Resimen Mahawarman. Penyerahan Duaja dilakukan oleh Menko sendiri. Garuda Mahawarman resmi berdiri berdampingan dengan Harimau Siliwangi.

Satuan-Satuan di Republik Indonesia

  • Indra Pahlawan di Riau
  • Jayakarta di Daerah Khusus Ibukota Jakarta
  • Mahabanten di Banten
  • Mahadarma di Timor Timur (belum dibubarkan hingga 10-Oktober-2004)
  • Mahadwiyudha di Bengkulu
  • Mahadana di Nusa Tenggara Timur
  • Mahadasa di Daerah Istimewa Aceh
  • Mahadipa di Jawa Tengah
  • Mahajani Nusa Tenggara Barat
  • Mahakarta Daerah Istimewa Yogyakarta
  • Mahaleo di Sulawesi Tenggara
  • Mahamaku di Ambon
  • Mahanata di Kalimantan Selatan
  • Mahapura di Kalimantan Barat
  • Maharatan di Lampung
  • Maharuyung di Sumatera Barat
  • Mahasamrat di Sulawesi Utara
  • Mahasena di Bali
  • Mahasurya di Jawa Timur
  • Mahatara di Sumatera Utara
  • Mahawarman di Jawa Barat
  • Mahawijaya di Sumatera Selatan
  • Mahawasih di Irian Jaya
  • Mulawarman di Kalimantan Timur
  • Pawana Cakti di Sulawesi Tengah
  • Sultan Thaha di Jambi
  • Wolter Monginsidi di Sulawesi Selatan
  • Mahabahari di Kepulauan Riau

Alumni Menwa yang Terkenal

Jumat, 05 Juni 2009

Kamis, 04 Juni 2009

Konsep Peperangan Masakini: Neocosrtical Welfare - Cuci Otak

Operasi Cuci Otak Merdeka atau mati! Sejarah Indonesia mencatat, semboyan itu bukanlah omong kosong. Ia pernah muncul sebagai kesadaran kolektif yang menimbulkan kekuatan yang dahsyat. Semboyan itu lahir dari nasionalisme yang telah mengkristal sebagai persepsi umum. Nasionalisme mengobarkan perlawanan yang amat fanatik oleh mereka yang terjajah terhadap penjajah. Semangat itu pula yang melahirkan bangsa Indonesia. Pergerakan kebangsaan Indonesia memperoleh momentum pada akhir Perang Pasifik. Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pun berkumandang pada 17 Agustus 1945. Keyakinan bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa tak bisa ditawar-tawar lagi. Ia tak bisa pula diintimidasi oleh kekuatan bersenjata seberapa pun besarnya.
Kekuatan senjata tak efektif lagi untuk pembenaran sebuah bangsa berhak memperlakukan bangsa lain sebagai jongos dan babu. Maka, ketika dianggap hendak merampas kemerdekaan yang telah diraih, kekuatan Inggris dan Belanda menghadapi perlawanan sengit bangsa Indonesia. Bangsa-bangsa Barat mencatat pengalaman pahit ketika vis a vis harus menghadapi semangat nasionalisme ini. Di luar Belanda, Amerika Serikat dan Prancis punya kenangan buruk di Vietnam. Rusia mencatat sejarah kelam di Afghanistan. Tatanan dunia memang telah banyak berubah sejak 63 tahun silam, ketika bangsa ini lahir. Globalisasi yang menafikan batas-batas wilayah negara kini menjadi mantra baru. Muncul paham baru bahwa peran negara harus ditarik ke belakang, dan biarkan korporasi multinasional mengelola hubungan kepentingan bangsa. Kedaulatan negara, nasionalisme, dan kebangsaan dianggap urusan jadul, jaman dulu, yang tidak relevan. Kita sering tersihir oleh mantra globalisasi itu, seraya melupakan nasionalisme. Kenyataan bahwa terjadi proses pemiskinan negara-negara tertentu di tengah globalisasi cukup dijelaskan bahwa itu hanya lantaran mismanajemen pembangunan. Kita menafikan pula bahwa agenda korporasi multinasional dan badan-badan dunia itu bekerja sejalan dengan kepentingan negara maju, yang sesungguhnya tidak terlalu peduli terhadap kesenjangan global dan eksploitasi bumi.
Dalam konteks inilah nasionalisme Indonesia bisa dianggap sebagai gangguan. Apa yang terjadi jika RI mengatur lalu lintas 50.000 kapal kargo dan tanker yang melintas Selat Malaka per tahun. Lalu lalang tanker di perairan ini mengangkut 10,5 juta barel minyak per hari. Sulit dibayangkan tragedi yang akan menimpa bila tanker satu juta barel bertabrakan di selat yang padat itu. Kalau saja Indonesia ini negara kuat, dengan rakyatnya yang teguh memegang nasionalisme, bisa kita paksa tanker-tanker raksasa itu melewati Selat Lombok atau Selat Sunda. Selain menghasilkan keuntungan, ini menekan risiko lingkungan. Tindakan sepihak itu tentu akan menghadapi perlawanan korporasi multinasional dan negara-negara yang ada di belakang mereka. Di tempat lain (baca: negara maju), nasionalisme tetap dijaga untuk mengamankan kepentingan mereka sendiri. Pemuda-pemuda Amerika terus dibangkitkan nasionalismenya agar bersedia menjadi serdadu yang ditempatkan di Jepang, Korea, Timur Tengah, atau Afghanistan. Bagi mereka, yang tidak boleh adalah nasionalisme di tempat lain. Bagi mereka, ancaman perang tak akan pernah berakhir. Kekuatan militer Amerika Serikat adalah perangkat keras untuk menjaga kepentingan mereka, selain untuk mengintimidasi nasionalisme orang lain yang mengusik kepentingan mereka. Tapi itu senjata pamungkas. Yang didahulukan ialah melumpuhkan nasionalisme dan semangat persatuan-kesatuan di tempat orang lain.
Dengan pengalamannya di pelbagai kawasan, mereka tahu, daripada mereka menekan nasionalisme dengan senjata yang perlu ongkos besar, mengapa tak melakukan operasi cuci otak saja yang lebih murah. *** Menurut evolusinya, otak itu tersegmentasi dalam tiga organ: bagian batang atau otak reptilia (primitif), sistem limbic (otak mamalia), dan neokorteks. Hasil evolusi pertama adalah otak reptil yang terkait insting hidup, bernapas, mencari makan, dan dorongan untuk reproduksi. Manusia memiliki bagian otak reptil, yang menyumbang daya kecerdasan paling rendah. Di sekeliling otak reptil terdapat sistem limbic, yang membungkus batang otak seperti kerah baju. Bagian ini sering disebut paleo mamalian. Otak ini berkaitan dengan perasaan atau emosi, memori, bioritmik, dan sistem kekebalan. Sistem limbic memungkinkan untuk merekam suatu kejadian yang menyenangkan. Sistem limbic memberikan kontribusi yang mendasar terhadap proses belajar, yaitu meneruskan informasi ke dalam memori. Ia juga terkait dengan peran thalamus dan hypothalamus yang berperan dalam mengatur suhu tubuh, keseimbangan kimia, debar jantung, tekanan darah, dan dorongan seks. Segmen ini pula yang mengontrol marah, senang, lapar, haus, kenyang, misalnya, selain terlibat dalam bekerjanya sistem ingatan. Terkait dengan perilaku makhluk hidup, peran sistem imbic besar dalam pengendalian emosi. Bagian ketiga adalah neokorteks atau otak neomamalian. Organ ini terbungkus di bagian atas dan kedua sistem limbic. Dia memberi kita kemampuan belajar, bicara, kreativitas, memahami angka, memecahkan masalah, dan dapat menentukan perilaku dalam berhubungan dengan lingkungan alam dan sosialnya. Karena itu, ia juga disebut the thinking cap atau otak rasional, sekaligus menjadi bagian terluar yang menutupi sistem limbic. Neokorteks yang meliputi 80% dari seluruh volume otak memberikan kemampuan berpikir, berpersepsi, berbicara, berperilaku, dan sebagainya.
Di era globalisasi ini, terus dikembangkan teknik-teknik baru untuk mengendalikan persepsi dan perilaku atas kelompok sasaran. Targetnya, mengontrol perilaku mereka sesuai dengan yang diprogram, dengan mengubah secara perlahan persepsinya. Karena areal target otak, maka senjatanya adalah pesan-pesan rasional dalam bentuk verbal (suara), visual (gambar), dan tulisan (teks). Pesan-pesan itu menjadi senjata penaklukan. Itu perang yang disebut neocortical warfare (perang neokortikal) atau perang tanpo bolo (tanpa tentara). Dalam konteks ini, pesan-pesan tadi harus terartikulasikan dan dikemas sebagai sebuah pengetahuan yang rasional, kritis, akademis, selain juga seksi bagi pers, bahkan terkesan heroik: membela lingkungan atau HAM. Aktor yang dipilih bisa para cendekiawan, aktivis, tokoh karismatis, tapi yang tak bisa dilupakan, para praktisi media pula. Dengan strategi perang neokortikal, kepentingan sebuah negara bisa masuk tanpa harus dikawal tank atau pesawat tempur.
Dalam konteks globalisasi, boleh jadi, yang terpilih sebagai target salah satunya adalah Pancasila. Nilai-nilai yang berasaskan kekeluargaan, gotong royong, dan musyawarah-mufakat harus didekonstruksi, lalu ditempatkan sebagai hal yang irasional. Yang rasional ialah kompetisi individu, debat, dan voting. Masalah hak individu pun dibenturkan dengan hak kolektif. BUMN harus diidentifikasikan dengan KKN, tidak efisien. Pokoknya, harus terjadi kontroversi, hal yang membuat bangsa ini cerai-berai dan loyo. Ujung-ujungnya, rasa kebangsaan melemah dan kecintaan pada tanah air berubah menjadi kecintaan atas materi serta aset. Itukah cita-cita bangsa ini? Kalau itu yang dikehendaki, harus diakui, kita telah memasuki area cortical warfare. *** Pengalaman kegagalan Belanda dan Inggris di Indonesia (1945-1949) boleh jadi juga memberi referensi sejarah cortical warfare. Awalnya, Inggris yang datang dengan misi melucuti Jepang dan mengevakuasi interniran orang Eropa itu membiarkan NICA dan KNIL memboncenginya ketika mendarat di kota-kota besar Indonesia. Sikapnya berubah setelah pasukannya mendapat perlawanan keras, terutama di Surabaya. Divisi Mansergh berhasil menguasai kota itu, tapi menghadapi perlawanan dan pengorbanan yang luar biasa dari arek-arek Surabaya itu, November 1945. David Wehl, perwira staf yang diperbantukan pada Divisi Mansergh, menuliskan laporan kepada atasannya dengan rasa miris: “Sekiranya pertempuran seperti ini berlangsung di seluruh Jawa, baik Republik Indonesia atau Hindia Timur akan tenggelam dalam lautan darah.” Wehl mengakui adanya gelegak nasionalisme rakyat yang begitu kuat. Maka, Inggris mendorong Belanda menyelesaikan urusannya secara diplomatik. Boleh jadi, pengalaman buruk di Indonesia itu ikut mendorong Inggris memerdekaan India dan Pakistan (1947) secara damai. Mematahkan semangat juang yang tertanam di otak memang tidak bisa dilakukan dengan tank dan rudal. Bahwa negara-negara maju tetap perlu memegang hegemoni. Itu bisa dilakukan melalui keunggulan teknologi, politik, dan kebudayaannya. Penaklukan akan lebih elegan. Yang diperlukan adalah bagaimana hegemoni itu bisa ditancapkan tanpa perlawanan. Di situlah peran cortical warfare. Target-target hegemoni itu sendiri umumnya empat sektor.
Yang pertama adalah sektor perbankan, yang menguasai arus uang --serupa dengan peran aliran darah pada manusia. Kedua, sektor komunikasi dan media yang serupa dengan impuls listrik pada saraf manusia. Tak terlihat tapi menentukan perilaku kelompok target. Yang ketiga, penguasaan sektor infrastruktur, utamanya energi --otot penggerak pada tubuh manusia. Keempat, sektor retail bahan pokok hajat kehidupan orang banyak, utamanya bahan kebutuhan pokok makanan. Bila keempat sektor ini terkuasai, maka terkuasai pulalah kedaulatan suatu bangsa oleh bangsa lain, tanpa letusan senjata dan tanpa kerusakan fisik. Untuk membentengi dampak perang neokortikal itu, agaknya bidang keilmuan psikologi dan komunikasi massa bisa menjadi salah satu tumpuan, setelah diintegrasikan dalam pusat kesenjataan maya pada tingkat nasional. Tapi, di luar itu, kita mesti lebih tegas mengartikulasikan prinsip-prinsip kehidupan kita dalam bernegara. Budiono Kartohadiprodjo (Ketua Corps Mahawarman) Pengamat geopolitik [Kolom, Gatra Edisi Khusus Beredar Kamis, 14 Agustus 2008]