Minggu, 30 Agustus 2009

STRATEGI DAN SUMBER DAYA BANGSA MENGHADAPI PERANG MODERN


Tugas bela negara bukanlah semata-mata tanggung-jawab tentara.
Pasal 30 Ayat 1 UUD 1945 secara tegas menyebutkan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara”.

Selama kita 64 tahun menjalani kehidupan bernegara yang merdeka, berbagai gagasan tentang sistem pertahanan negara telah kita kembangkan.
Sebuah acuan yang kini berlaku ialah UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
Ketentuan umum pada Pasal 1 Ayat 2 UU tersebut menyebut adanya “sistem pertahanan semesta yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman”.

Merujuk pada pasal itu, jelas bahwa warga masyarakat dan swasta (korporasi) sebagai sumber daya nasional dilibatkan dalam sistem pertahanan negara, paling tidak sebagai Komponen Cadangan seperti dimaksud dalam Ayat 6, atau Komponen Pendukung (Ayat 7). Ada pun TNI berperan sebagai Komponen Utamanya (Ayat 5).

Pada bagian penjelasan UU Nomor 3 Tahun 2002 itu dikatakan bahwa dalam era globalisasi ini, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi komunikasi-informas i sangat mempengaruhi pola dan bentuk ancaman. Ancaman atas kedaulatan negara yang semula bersifat konvensional (militer) kini berkembang menjadi multi-dimensional (militer dan nir-militer) , dengan sumber ancaman dari dalam dan luar negeri.

Ancaman yang bersifat multi-dimensional tersebut bisa berupa penetrasi ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, maupun gangguan keamanan yang terkait dengan kejahatan internasional, antara lain terorisme, imigran gelap, bahaya narkotika, pencurian kekayaan alam, bajak laut, dan perusakan lingkungan.

Dengan demikian, permasalahan pertahanan menjadi begitu kompleks.
TNI sendiri telah mengembangkan diri untuk menghadapi tantangan baru itu, antara lain dengan doktrin Operasi Militer Bukan Perang (Military Operation Other Than War, MOOW), yakni pengerahan kapasitas militer untuk operasi non-tempur. Toh, jangkauan operasi ini terbatas.
Dengan begitu, tantangan baru ini menuntut tanggung jawab semua instansi yang terkait, baik instansi pemerintah, lembaga non-pemerintah, bahkan masyarakat luas.

Dalam konteks ini, di mana peran masyarakat dan swasta (lembaga non-pemerintah) ?

UU Nomor 3 Tahun 2002 itu sendiri jelas mengklasifikasikan bala pertahanan negara yang tergolongkan pada tiga kelompok, yakni Komponen Utama (TNI), Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung.
Hal ihwal tentang Komponen Cadangan itu kini sudah tertuang dalam RUU tentang Komponen Cadangan Pertahanan Nasional yang draft akademisnya telah berada di tangan DPR.
Sedangkan Komponen Pendukung belum jelas betul sosoknya.

Menurut draft yang ada, Komponen Cadangan pertahanan negara itu disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi umum guna meningkatkan kapasitas Komponen Utama (TNI).
Karena mengandung frasa “mobilisasi umum”, draft tersebut dikesankan sebagai RUU Wajib Militer.

Sementara itu, RUU yang sama menyebutkan bahwa Komponen Pendukung adalah sumber daya bangsa yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan Komponen Utama dan Komponen Cadangan. Dan sementara ini disebut-sebut bahwa Resimen Mahasiswa masuk dalam kategori Komponen Pendukung ini.

Dengan demikian, untuk pertanyaan di mana peran masyarakat dan swasta dalam sistem pertahanan negara kita, jawabnya adalah pada Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung.
Namun, yang lebih utama adalah pertanyaan bagaimana pelembagaan dari Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung itu sendiri agar penggunaan sumber daya pertahanan kita bisa lebih efektif dan efisien. Atau dengan kata lain, lebih ekonomis.

Salah satu pendekatan untuk membangun postur dan kelembagaan yang efektif atas Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung itu ialah secara interaktif memadukan gagasan yang muncul dengan hakekat ancaman terhadap pertahanan itu sendiri. Dan hakekat ancaman ini pun berubah secara dinamis dari masa ke masa.

Di sinilah pentingnya disusun sebuah Strategic Defense Review (SDR) yang punya kedalaman, hingga bisa menyentuh profil gangguan pada jangka pendek, menengah maupun jangka panjang.
SDR harus menjadi acuan bagi upaya membangun sistem Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung yang tangguh namun sekaligus ekonomis.

Dari situlah kemudian kita pertanyakan apakah kata kunci “mobilisasi umum” pada RUU Komponen Cadangan Pertahanan Nasional itu bisa membangun sebuah kekuatan yang efektif. Ini tentu bisa kita perdebatkan.
Tetapi yang jelas, mobilisasi umum akan memakan biaya besar. Bukankah ongkos besar itu akan lebih baik bila sebagian digunakan untuk memperkuat kapasitas komponen utama yang ada. Misalnya, untuk kesejahteraan prajurit, pemeliharaan alutsista, dan pemeliharaan kesamaptaan teknis.


Pemberdayaan Menwa

Ongkos membangun sebuah kekuatan cadangan akan lebih kecil bila kita memanfaatkan “bahan baku” yang lebih siap pakai.

Pengalaman kita selama 50 tahun dengan Resimen Mahawarman membuktikan bahwa kita seharusnya bisa memetik sumber daya yang lebih siap pakai untuk keperluan pertahanan negara dari Korps Baret Ungu tersebut. Namun, sejarah menunjukkan bahwa kita telah menyia-nyiakan kapasitas lebih dari Resimen Mahasiswa.
Padahal kita bisa membayangkan betapa besar sebetulnya manfaat yang bisa diraih bila para anggota dan alumni Menwa itu diberdayakan secara sistemik dalam upaya bela negara.

Pada uraian di atas sudah disebutkan bahwa dalam tatanan yang akan dibangun, posisi anggota Korps Baret Ungu yang mahasiswa aktif maupun para alumninya berada pada jenjang Komponen Pendukung.
Namun, para anggota Resimen Mahasiswa itu bisa kita tingkatkan kompetensinya untuk memasuki jenjang Komponen Cadangan, melalui suatu bentuk Korps Pendidikan Perwira Cadangan (Reserve Officer Training Corps, ROTC).
Dalam program ini, ketika anggota menwa lulus dari bangku perguruan tinggi, mereka bukan saja menyandang gelar sebagai sarjana (S-1), namun lebih dari itu mereka juga menjadi seorang perwira militer, yaitu Letnan Dua Cadangan.

Kita tinggal mensinkronkan, agar para anggota menwa tersebut mengambil kuliah dan latihan kemiliteran yang tersistem dalam Satuan Kredit Semester (SKS), sehingga memiliki bekal pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skill) sebagai perwira militer.
Sedangkan sikap postur (attitude) sebagai perwira, dibentuk dalam kegiatan sebagai warga Korps, yang merupakan transformasi kegiatan kemenwaan yang kita lakukan selama ini.

Setelah lulus sebagai perwira, para alumni Menwa yang sekaligus Perwira Cadangan itu akan terjun ke masyarakat, baik sebagai profesional, wirausaha, pegawai negeri, atau bahkan pekerja seni misalnya. Tetapi sekaligus mereka pun langsung masuk ke dalam jajaran kekuatan Komponen Cadangan.
Dalam suasana damai, pekerjaan apa pun yang mereka jalani tak menghilangkan hak dan kewajiban mereka sebagai anggota satuan Komponen Cadangan. Tentunya dengan terlebih jauh mengatur kewenangan, hak dan kewajiban mereka, serta kelembagaan yang akan mengendalikan mereka sebagai bagian dari kekuatan Komponen Cadangan.

Dengan mencetak perwira dari perguruan tinggi itu, yang merupakan peran serta masyarakat yang nyata dalam pembentukan sumber daya manusia bela negara yang berbasiskan tingkat kesukarelaan yang tinggi, beban biaya yang harus ditanggung negara juga akan lebih ringan.

Belum lagi, dari aspek kecabangan militer, perwira dari “hasil cetakan” perguruan tinggi itu akan lebih beragam dan lebih siap menghadapi berbagai aspek perang multi-dimensional. Di sinilah ada imbal-balik dari segi mutu.
Boleh jadi, dari aspek kemiliteran inti, seperti aspek ke-infantri- an, kualitas perwira cetakan universitas itu mungkin tak se-‘trengginas’ dari akademi militer. Namun dari segi kecabangannya, mereka bisa diharapkan akan lebih mumpuni, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diikuti dengan lebih intens oleh dunia perguruan tinggi.

Perusahaan-perusaha an swasta nasional (korporasi nasional), bahkan juga multi-nasional, bisa berpartisipasi dalam mendidik sumber daya manusia siap pakai ini, dengan skema beasiswa atau ikatan dinas, misalnya. Korporasi tidak akan rugi karena ikut mencetak sarjana plus, yang pada saatnya akan memperkuat jajaran sumber daya manusia mereka.

Lulusan universitas yang sekaligus telah meraih kualifikasi perwira itu jelas akan memiliki kelebihan dibanding sarjana pada umumnya.
Mereka tak hanya telah memiliki bekal intelegensia sesuai disiplin ilmunya, lebih dari itu mereka juga telah menerima gemblengan nilai-nilai keperwiraan yang akan diperlukan dalam organisasi apapun. Aspek leadership misalnya. Belum lagi soal disiplin dan penghormatan atas hirarki. Pihak korporasi akan memperoleh tenaga yang lebih andal dan bertanggung jawab.

Lepas dari soal silang-pendapat domain operasional antara pertahanan dan keamanan, yang implementasinya adalah pembagian kerja antara TNI dan Polri, perwira-perwira lulusan perguruan tinggi itu bisa diharapkan akan lebih efektif dalam menangkal bahaya narkotika, illegal logging, illegal fishing, trafficking, imigran gelap, perusakan lingkungan dan gangguan-gangguan lainnya yang berbasiskan teknologi tinggi.

Dengan cara pandang yang sama, kelompok-kelompok sumber daya dalam komponen pendukung, seperti pramuka, hansip, linmas, satpam, organisasi pemuda, cabang olahraga tertentu, kelompok pencinta alam, bahkan satgas partai, bisa pula diberdayakan untuk menunjang kekuatan Komponen Cadangan. Mereka bisa difungsikan sesuai kompetensinya masing-masing, di bawah pimpinan dan pembinaan para perwira cadangan.


Penutup

Kenyataan bahwa RUU Komponen Cadangan Pertahanan Nasional tak kunjung dibahas di DPR, meskipun draftnya sudah muncul sejak 2005, agaknya itu tak lepas dari kebimbangan banyak fihak tentang implementasinya bila draft tersebut menjadi undang-undang.
Ada konsekuensi biaya yang besar dan ada pula kerumitan dalam penyusunan kelembagaannya.

Pemberdayaan Menwa dan para alumninya itu tampaknya bisa menjadi terobosan, di tengah situasi nyata bahwa Komponen Utama pertahanan negera kita cukup kepayahan menghadapi berbagai gangguan yang mengancam pertahanan nasional kita.
Bila hal tersebut berlangsung berlarut-larut, kedaulatan negara menjadi taruhannya.

PENGUASAAN DAN PENERAPAN IPTEK GUNA MENDUKUNG KEKUATAN PERTAHANAN NEGARA



1. Pendahuluan.
Berdasarkan Undang Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, pasal 2 menyatakan hakikat pertahanan negara adalah segala upaya pertahanan bersifat semesta yang penyelenggaraannya didasarkan pada kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara serta keyakinan pada kekuatan sendiri. Sedangkan yang dimaksud dengan pertahanan bersifat semesta adalah keterlibatan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman.
Dalam Undang Undang Nomor 3 Tahun 2002, pasal 7 ayat (2) dan (3) menyebutkan macam ancaman, yaitu ancaman militer dan ancaman non militer. Ancaman militer adalah ancaman yang menggunakan kekuatan bersenjata yang terorganisasi yang dinilai mempunyai kemampuan yang membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa. Ancaman militer yang merupakan ancaman nyata terlihat secara fisik dan dapat menghancurkan atau memporak-porandakan suatu negara, misalnya agresi militer, sabotase, pelanggaran wilayah semakin jarang terjadi. Sedangkan ancaman non militer pada hakikatnya adalah ancaman yg menggunakan faktor-faktor non militer yang dinilai mempunyai kemampuan yang membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa. Ancaman non militer ini merupakan ancaman yang sering terlihat tidak nyata secara fisik tetapi sangat efektif untuk menghancurkan suatu negara melalui penetrasi nilai-nilai diantaranya kebebasan, demokrasi, HAM dan lingkungan hidup, akan terus terjadi bahkan meningkat pada masa depan baik dari kuantitas maupun kualitasnya.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang pertahanan dapat menimbulkan ancaman militer dan ancaman non militer semakin luas. Untuk itu, kemajuan Iptek harus dimanfaatkan untuk mendukung terwujudnya pertahanan negara yang kuat.

2. Kemajuan Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi Pertahanan.

Seiring derasnya arus globalisasi yang mempengaruhi segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, berbagai negara telah berlomba-lomba dalam penguasaan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mendukung pertahanan negaranya.

Pemanfaatan kemajuan Iptek dalam bidang pertahanan, dapat memperkuat pertahanan suatu negara dan juga menimbulkan ancaman bagi negara lain. Pemanfaatan teknologi ini dapat meningkatkan kemampuan alutsista dan peralatan militer lainnya, misalnya memperjauh jarak tembak rudal, meningkatkan kemampuan anti radar, meningkatkan kemampuan senjata kimia dan biologi (chemical/biological weapon). Sedangkan dari aspek ancaman yang ditimbulkan dapat berupa Electronic Warfare, Information Warfare, Cyber Warfare dan Psychological Warfare. Pemanfaatan teknologi tersebut akan berpengaruh besar pada kondisi pertahanan dan keamanan dunia.

Banyak negara telah mengembangkan teknologi informasi dan komunikasi, teknologi kedirgantaraan, bioteknologi, teknologi propulsi, teknologi pembangkit energi dan nanoteknologi untuk menggerakan industri pertahanannya dalam rangka memproduksi alutsista yang digunakan untuk memperkuat militernya dan juga untuk menyiapkan sebagai produsen alutsista yang siap bersaing dengan negara produsen lain.
Negara-negara maju seperti AS, Inggris, Jerman, Perancis, Rusia dan Jepang secara berkelanjutan mengembangkan industri pertahanannya untuk memperkuat kekuatan militernya dan menjadikan sebagai negara pengekspor alutsista. Masing-masing negara memiliki keunggulan sesuai dengan pengembangan Iptek yang terdapat di negaranya. Industri pertahahan di negara maju berkembang sangat pesat karena dukungan yang penuh dari pemerintah (baik kebijakan industri maupun finansialnya) dan iklim ekonomi yang menunjang perkembangannya.

Di beberapa kawasan muncul negara sebagai kekuatan baru dengan disertai peralatan militer yang canggih. India dan China merupakan contoh negara yang memiliki kekuatan militer sekaligus kekuatan ekonomi yang tangguh. Mereka memanfaatkan kemajuan Iptek untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus menggiatkan industri pertahanannya.

China mengembangkan kemampuan militer yang berteknologi tinggi dengan membangun angkatan bersenjata yang terkomputerisasi, kemampuan tempur berbasis teknologi informasi, dan didukung oleh prajurit dengan jumlah yang besar dan berkualitas. Sedangkan India dengan kemajuan elektroniknya berhasil mengembangkan pembuatan pesawat, helikopter, dan rudal yang cukup disegani.

Dengan Iptek, sistem persenjataan dan alat peralatan baru dapat diciptakan untuk mendukung keperluan militer/pertahanan yang lebih handal, lebih akurat, dan lebih cepat dan fleksibel pengerahannya. Teknologi dalam memproduksi persenjataan dan alat peralatan tersebut terus berkembang sejalan dengan perkembangan Iptek.

3. Kondisi Pertahanan Indonesia Saat Ini.
Walaupun sejumlah keterbatasan yang dihadapi dalam pembangunan kekuatan pertahanan dan ancaman militer akan semakin jarang terjadi dimasa depan, Indonesia perlu terus meningkatkan kemampuan pertahanan militer baik di darat, laut maupun udara, untuk memberikan jaminan keamanan nasional. Pembangunan pertahanan saat ini belum dapat mewujudkan postur pertahanan yang kuat dan disegani dilihat dari jumlah dan kualitas peralatan militer/alutsista yang dimiliki. Kondisi peralatan pertahanan saat ini sangat memprihatinkan baik dari segi usia maupun kecanggihan teknologi. Alutsista yang dimiliki TNI rata-rata berusia lebih dari 20 tahun. Untuk kesiapan operasional alutsista dilakukan dengan repowering/retrofit dan dilakuan pembelian baru kalau dinilai sangat mendesak/dibutuhkan.

Perkembangan teknologi pertahanan Indonesia saat ini jauh ketinggalan bila dibandingkan dengan perkembangan teknologi militer (Revolution in Military Affairs-RMA) dari negara-negara lain yang maju pesat dan dapat menciptakan sistem senjata baru yang memiliki daya rusak dan daya jangkau yang lebih besar dan lebih jauh serta lebih akurat. Sedangkan kebutuhan pemenuhan pemeliharaan, pengoperasian, maupun suku cadang alutsista masih bergantung pada negara-negara lain. Dari aspek profesionalisme, kualitas sumber daya manusia dan tingkat kesejahteraan prajurit belum memenuhi kebutuhan yang diharapkan. Oleh karena itu, kondisi kekuatan pertahanan Indonesia saat ini jauh di bawah kebutuhan pokok, bahkan di bawah kekuatan pokok minimal (minimum essential force) sekalipun.

Disamping itu, alokasi APBN untuk sektor pertahanan dan keamanan memperoleh prioritas ketiga setelah sektor perekonomian dan sektor kesejahteraan. Alokasi anggaran pertahanan dalam lima tahun terakhir ini cenderung menurun bila dihadapkan pada APBN maupun PDB. Kecenderungan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

(dalam jutaan rupiah)

2004 2005 2006 2007 2008 2009
PDB 2.004.347,83 2.190.796,70 3.035.781,00 3.531.087,50 4.681.877,90 5.318.461,54
ALOKASI 21.711,69 23.108,10 28.299,18 32.640,06 32.871,08 33.667,62
%PDB 1,08% 1,05% 0,93% 0,92% 0,70% 0,63%
2004 2005 2006 2007 2008 2009
APBN 374.351,26 397.769,30 647.667,82 763.570,80 989,493,80 1.037.100,00
ALOKASI 21.711,69 23.108,10 28.299,18 32.640,06 32.871,08 33.667,62
%APBN 5,80% 5,81% 4,36% 4,27% 3,32% 3,25%
(dalam jutaan rupiah)

Kondisi tersebut tidak mencukupi untuk melakukan pemenuhan dan modernisasi alutsista serta peningkatan profesionalisme TNI. Hal ini berakibat terhadap kekuatan pertahanan yang berada dibawah standar penangkalan dan berada dibawah kekuatan pokok minimal.

4. Upaya Penguasaan dan Penerapan Iptek untuk Pertahanan Negara.

Paradigma pembangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia sedang menuju pembangunan berbasis sumber daya masyarakat berpengetahuan (knowledge based society). Proses ini berimplikasi pada berbagai bidang pembangunan, termasuk pembangunan teknologi pertahanan. Sebagai bagian utama dari knowledge based society, Ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas dan kebutuhan hidup manusia dengan mendayagunakan sumber daya yang ada disekelilingnya.

Prioritas pembangunan Iptek ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009, dan Kebijakan Strategis Pembangunan Nasional (Jakstranas) Iptek 2005-2009, menempatkan bidang teknologi pertahanan dan keamanan pada urutan ke 5 dari enam skala prioritas, dengan arah kebijakan terutama untuk memenuhi kebutuhan alutsista, meningkatkan kapabilitas Iptek Hankam dan memberikan peluang kepada industri strategis (nasional) untuk berperan dalam pengembangan Iptek Hankam. Pembangunan Iptek ini selaras dengan yang digariskan Undang-undang, yaitu :

- Undang-undang Dasar 1945 pasal 31 ayat (5) menyatakan bahwa pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

- Undang-undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, pasal 23 ayat (1) menyatakan bahwa dalam rangka meningkatkan kemampuan pertahanan negara, pemerintah melakukan penelitian dan pengembangan industri dan teknologi di bidang pertahanan.

Pengembangan Iptek untuk Pertahanan

Suatu negara yang memiliki kekuatan pertahanan yang tangguh dengan didukung oleh kecanggihan alutsista akan memiliki bargaining power dan disegani oleh negara lain. Amerika Serikat dengan kecanggihan alutsista dan besarnya anggaran pertahanan yang dialokasikan ($ 711 billions) membuat Amerika Serikat memiliki peran penting baik di kawasan regional maupun internasional.

Pada dasarnya, perang dimasa mendatang adalah ”perang otak” atau sering disebut perang daya saing. Perang ini mengandalkan kreatifitas intelektual untuk mengalahkan negara lain dalam persaingan internasional. Untuk itu, setiap negara dituntut untuk memenangkan daya saing, sehingga perlu meningkatkan kemampuan teknologi, sumber daya manusia dan finansialnya.

Pembangunan kekuatan pertahanan Indonesia yang sedang dilakukan tidak terlepas dari perkembangan Iptek. Program pembangunan Iptek yang diarahkan untuk mendukung kepentingan pertahanan lebih menjurus pada terpenuhinya kebutuhan alutsista yang difokuskan pada teknologi pendukung, yaitu :

- Daya Gerak, meliputi Alat transportasi Darat, Laut dan Udara
- Daya Tempur, meliputi Senjata, Munisi Kaliber Besar dan dan Bahan Peledak, Roket dan Peluru Kendali
- Komando, Kendali, Komunikasi, Komputer dan Informasi (K4I), meliputi Alat Komunikasi, Surveilance, Penginderaan dan Navigasi
- Peralatan/Bekal Prajurit , meliputi Perlengkapan Operasi Personel

Pemberdayaan Sumber Daya Nasional

Untuk menghadapi ancaman yang semakin kompleks dan mewujudkan pemenuhan alutsista dari dalam negeri, memerlukan upaya multidimensional dalam penyelesaiannya, serta kebijakan pertahanan yang komprehensif (total defence). Kebijakan pertahanan tidak hanya cukup menggunakan pendekatan militer namun perlu dintegrasikan dengan melibatkan seluruh komponen bangsa, terutama pendekatan nir militer, seperti aspek-aspek ekonomi, sosial, budaya, politik dan lingkungan hidup. Keterlibatan komponen bangsa tersebut merupakan manisfestasi dari Sistem Pertahanan Semesta yang penyelenggaraannya didasarkan pada kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara serta keyakinan pada kekuatan sendiri.

Untuk menyiapkan sumber daya manusia yang handal dalam penguasaan dan penerapan Iptek bidang pertahanan diperlukan kerjasama sinergis antara pengguna teknologi, lembaga penelitian dan pengembangan, perguruan tinggi dan industri. Kerjasama tersebut akan mendorong percepatan menuju kemandirian nasional dalam bidang penguasaan dan pengembangan teknologi pertahanan, karena selama ini pemenuhan alutsista dan sarana pertahanan negara lainnya sangat tergantung dari pengadaan luar negeri. Hal ini disebabkan potensi kemampuan industri nasional masih belum diberdayakan secara maksimal.


a. Pengguna/pemerintah
Pemerintah/Dephan memperhatikan perkembangan industri pertahanan dan industri nasional untuk mendukung pemenuhan kebutuhan alutsista dan alat pertahanan lainnya dengan memfasilitasi pertumbuhan industri pertahanan dan industri nasional yang berkaitan dengan bidang pertahanan. Hal ini merupakan implementasi dari pasal 20, ayat (2), UU Pertahanan Negara, menyatakan segala sumber daya nasional yang berupa sumber daya manusia, sumber daya alam dan buatan, nilai-nilai, teknologi dan dana dapat didayagunakan untuk meningkatkan kemampuan pertahanan negara.

b. Lembaga Litbang
Lembaga penelitian dan pengembangan memiliki peran sangat penting dalam mendukung penguasaan teknologi. Pada saat ini, peran sebagian besar lembaga penelitian dan pengembangan nasional masih belum menjadi kekuatan utama dalam pencapaian keunggulan teknologi. Untuk itu, lembaga Litbang harus diberdayakan untuk dapat menghasilkan yang dapat digunakan bagi pembangunan pertahanan negara. Pemberdayaan Litbang ini dapat dilakukan dengan metoda penguasaan teknologi yaitu Alih Teknologi, Forward Engineering, dan Reverse Engineering.

c. Perguruan Tinggi
Dalam rangka menuju kemandirian teknologi pertahanan diperlukan penguasaan teknologi dan aktivitas penelitian dan pengembangan yang didukung oleh sumber daya manusia dengan kualitas dan kuantitas yang memadai. Sedangkan untuk mencetak SDM yang memiliki keahlian dalam bidang-bidang yang berkaitan dengan teknologi pertahanan tidak terlepas dari peran lembaga pendidikan formal dan non formal.

Perguruan Tinggi sebagai salah satu lembaga pendidikan formal sangat berperan dalam pembentukan SDM yang berkualitas. Untuk itu, diperlukan perguruan tinggi dan sarana pendidikan yang dapat mewujudkan SDM yang memiliki kompetensi dalam Iptek Pertahanan.

Baru-baru ini, Departemen Pertahanan mendirikan Universitas Pertahanan (Unhan). Sebagai lembaga intelektual pertahanan (defence intellectual agency), pendirian Unhan bertujuan meningkatkan kualitas pendidikan di bidang pertahanan dan menjadi sumber penyiapan calon pemimpin masa depan baik dari kalangan militer maupun sipil khususnya yang akan menduduki sejumlah posisi penentu kebijakan strategis nasional.

d. Industri Pertahanan dan Industri Nasional

Pengembangan Iptek dalam industri pertahanan bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan alutsista dan mewujudkan kemandirian industri pertahanan. Industri pertahanan merupakan bagian dari industri nasional yang pengembangannya harus dilakukan secara komprehensif, agar terjadi sinergi dan efesiensi secara nasional. Untuk mendapatkan efisiensi dan efektivitas, pengembangan industri sipil diarahkan juga untuk mendukung kebutuhan industri pertahanan. Sebagian industri nasional telah dapat terintegrasi dan berperan ganda, yaitu sebagai industri penghasil peralatan pertahanan dan keamanan, sekaligus industri penghasil peralatan sipil.

e. Kerjasama Kelembagaan.

Membangun kerjasama kelembagaan dengan pihak luar dalam berbagai bentuk kegiatan seperti pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan, akuisisi dan kerjasama lain untuk meningkatkan kemampuan dalam pemenuhan alutsista.




5. Penutup.

Penguasaan dan penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dapat mendukung pembangunan kekuatan pertahanan negara.

Kemajuan Iptek dapat mendorong pertumbuhan industri pertahanan dan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi nasional yang merupakan dampak dari ”multiplier effect”.

Dengan demikian, penguasaan dan penerapan Iptek dapat memperkuat pertahanan negara sekaligus mendukung pertumbuhan ekonomi nasional selanjutnya dapat meningkatkan martabat bangsa dan ketahanan nasional.

(Written by Prof. Dr. Ir. Budi Susilo Soepandji, DEA*)