Minggu, 30 Agustus 2009

STRATEGI DAN SUMBER DAYA BANGSA MENGHADAPI PERANG MODERN


Tugas bela negara bukanlah semata-mata tanggung-jawab tentara.
Pasal 30 Ayat 1 UUD 1945 secara tegas menyebutkan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara”.

Selama kita 64 tahun menjalani kehidupan bernegara yang merdeka, berbagai gagasan tentang sistem pertahanan negara telah kita kembangkan.
Sebuah acuan yang kini berlaku ialah UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
Ketentuan umum pada Pasal 1 Ayat 2 UU tersebut menyebut adanya “sistem pertahanan semesta yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman”.

Merujuk pada pasal itu, jelas bahwa warga masyarakat dan swasta (korporasi) sebagai sumber daya nasional dilibatkan dalam sistem pertahanan negara, paling tidak sebagai Komponen Cadangan seperti dimaksud dalam Ayat 6, atau Komponen Pendukung (Ayat 7). Ada pun TNI berperan sebagai Komponen Utamanya (Ayat 5).

Pada bagian penjelasan UU Nomor 3 Tahun 2002 itu dikatakan bahwa dalam era globalisasi ini, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi komunikasi-informas i sangat mempengaruhi pola dan bentuk ancaman. Ancaman atas kedaulatan negara yang semula bersifat konvensional (militer) kini berkembang menjadi multi-dimensional (militer dan nir-militer) , dengan sumber ancaman dari dalam dan luar negeri.

Ancaman yang bersifat multi-dimensional tersebut bisa berupa penetrasi ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, maupun gangguan keamanan yang terkait dengan kejahatan internasional, antara lain terorisme, imigran gelap, bahaya narkotika, pencurian kekayaan alam, bajak laut, dan perusakan lingkungan.

Dengan demikian, permasalahan pertahanan menjadi begitu kompleks.
TNI sendiri telah mengembangkan diri untuk menghadapi tantangan baru itu, antara lain dengan doktrin Operasi Militer Bukan Perang (Military Operation Other Than War, MOOW), yakni pengerahan kapasitas militer untuk operasi non-tempur. Toh, jangkauan operasi ini terbatas.
Dengan begitu, tantangan baru ini menuntut tanggung jawab semua instansi yang terkait, baik instansi pemerintah, lembaga non-pemerintah, bahkan masyarakat luas.

Dalam konteks ini, di mana peran masyarakat dan swasta (lembaga non-pemerintah) ?

UU Nomor 3 Tahun 2002 itu sendiri jelas mengklasifikasikan bala pertahanan negara yang tergolongkan pada tiga kelompok, yakni Komponen Utama (TNI), Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung.
Hal ihwal tentang Komponen Cadangan itu kini sudah tertuang dalam RUU tentang Komponen Cadangan Pertahanan Nasional yang draft akademisnya telah berada di tangan DPR.
Sedangkan Komponen Pendukung belum jelas betul sosoknya.

Menurut draft yang ada, Komponen Cadangan pertahanan negara itu disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi umum guna meningkatkan kapasitas Komponen Utama (TNI).
Karena mengandung frasa “mobilisasi umum”, draft tersebut dikesankan sebagai RUU Wajib Militer.

Sementara itu, RUU yang sama menyebutkan bahwa Komponen Pendukung adalah sumber daya bangsa yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan Komponen Utama dan Komponen Cadangan. Dan sementara ini disebut-sebut bahwa Resimen Mahasiswa masuk dalam kategori Komponen Pendukung ini.

Dengan demikian, untuk pertanyaan di mana peran masyarakat dan swasta dalam sistem pertahanan negara kita, jawabnya adalah pada Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung.
Namun, yang lebih utama adalah pertanyaan bagaimana pelembagaan dari Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung itu sendiri agar penggunaan sumber daya pertahanan kita bisa lebih efektif dan efisien. Atau dengan kata lain, lebih ekonomis.

Salah satu pendekatan untuk membangun postur dan kelembagaan yang efektif atas Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung itu ialah secara interaktif memadukan gagasan yang muncul dengan hakekat ancaman terhadap pertahanan itu sendiri. Dan hakekat ancaman ini pun berubah secara dinamis dari masa ke masa.

Di sinilah pentingnya disusun sebuah Strategic Defense Review (SDR) yang punya kedalaman, hingga bisa menyentuh profil gangguan pada jangka pendek, menengah maupun jangka panjang.
SDR harus menjadi acuan bagi upaya membangun sistem Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung yang tangguh namun sekaligus ekonomis.

Dari situlah kemudian kita pertanyakan apakah kata kunci “mobilisasi umum” pada RUU Komponen Cadangan Pertahanan Nasional itu bisa membangun sebuah kekuatan yang efektif. Ini tentu bisa kita perdebatkan.
Tetapi yang jelas, mobilisasi umum akan memakan biaya besar. Bukankah ongkos besar itu akan lebih baik bila sebagian digunakan untuk memperkuat kapasitas komponen utama yang ada. Misalnya, untuk kesejahteraan prajurit, pemeliharaan alutsista, dan pemeliharaan kesamaptaan teknis.


Pemberdayaan Menwa

Ongkos membangun sebuah kekuatan cadangan akan lebih kecil bila kita memanfaatkan “bahan baku” yang lebih siap pakai.

Pengalaman kita selama 50 tahun dengan Resimen Mahawarman membuktikan bahwa kita seharusnya bisa memetik sumber daya yang lebih siap pakai untuk keperluan pertahanan negara dari Korps Baret Ungu tersebut. Namun, sejarah menunjukkan bahwa kita telah menyia-nyiakan kapasitas lebih dari Resimen Mahasiswa.
Padahal kita bisa membayangkan betapa besar sebetulnya manfaat yang bisa diraih bila para anggota dan alumni Menwa itu diberdayakan secara sistemik dalam upaya bela negara.

Pada uraian di atas sudah disebutkan bahwa dalam tatanan yang akan dibangun, posisi anggota Korps Baret Ungu yang mahasiswa aktif maupun para alumninya berada pada jenjang Komponen Pendukung.
Namun, para anggota Resimen Mahasiswa itu bisa kita tingkatkan kompetensinya untuk memasuki jenjang Komponen Cadangan, melalui suatu bentuk Korps Pendidikan Perwira Cadangan (Reserve Officer Training Corps, ROTC).
Dalam program ini, ketika anggota menwa lulus dari bangku perguruan tinggi, mereka bukan saja menyandang gelar sebagai sarjana (S-1), namun lebih dari itu mereka juga menjadi seorang perwira militer, yaitu Letnan Dua Cadangan.

Kita tinggal mensinkronkan, agar para anggota menwa tersebut mengambil kuliah dan latihan kemiliteran yang tersistem dalam Satuan Kredit Semester (SKS), sehingga memiliki bekal pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skill) sebagai perwira militer.
Sedangkan sikap postur (attitude) sebagai perwira, dibentuk dalam kegiatan sebagai warga Korps, yang merupakan transformasi kegiatan kemenwaan yang kita lakukan selama ini.

Setelah lulus sebagai perwira, para alumni Menwa yang sekaligus Perwira Cadangan itu akan terjun ke masyarakat, baik sebagai profesional, wirausaha, pegawai negeri, atau bahkan pekerja seni misalnya. Tetapi sekaligus mereka pun langsung masuk ke dalam jajaran kekuatan Komponen Cadangan.
Dalam suasana damai, pekerjaan apa pun yang mereka jalani tak menghilangkan hak dan kewajiban mereka sebagai anggota satuan Komponen Cadangan. Tentunya dengan terlebih jauh mengatur kewenangan, hak dan kewajiban mereka, serta kelembagaan yang akan mengendalikan mereka sebagai bagian dari kekuatan Komponen Cadangan.

Dengan mencetak perwira dari perguruan tinggi itu, yang merupakan peran serta masyarakat yang nyata dalam pembentukan sumber daya manusia bela negara yang berbasiskan tingkat kesukarelaan yang tinggi, beban biaya yang harus ditanggung negara juga akan lebih ringan.

Belum lagi, dari aspek kecabangan militer, perwira dari “hasil cetakan” perguruan tinggi itu akan lebih beragam dan lebih siap menghadapi berbagai aspek perang multi-dimensional. Di sinilah ada imbal-balik dari segi mutu.
Boleh jadi, dari aspek kemiliteran inti, seperti aspek ke-infantri- an, kualitas perwira cetakan universitas itu mungkin tak se-‘trengginas’ dari akademi militer. Namun dari segi kecabangannya, mereka bisa diharapkan akan lebih mumpuni, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diikuti dengan lebih intens oleh dunia perguruan tinggi.

Perusahaan-perusaha an swasta nasional (korporasi nasional), bahkan juga multi-nasional, bisa berpartisipasi dalam mendidik sumber daya manusia siap pakai ini, dengan skema beasiswa atau ikatan dinas, misalnya. Korporasi tidak akan rugi karena ikut mencetak sarjana plus, yang pada saatnya akan memperkuat jajaran sumber daya manusia mereka.

Lulusan universitas yang sekaligus telah meraih kualifikasi perwira itu jelas akan memiliki kelebihan dibanding sarjana pada umumnya.
Mereka tak hanya telah memiliki bekal intelegensia sesuai disiplin ilmunya, lebih dari itu mereka juga telah menerima gemblengan nilai-nilai keperwiraan yang akan diperlukan dalam organisasi apapun. Aspek leadership misalnya. Belum lagi soal disiplin dan penghormatan atas hirarki. Pihak korporasi akan memperoleh tenaga yang lebih andal dan bertanggung jawab.

Lepas dari soal silang-pendapat domain operasional antara pertahanan dan keamanan, yang implementasinya adalah pembagian kerja antara TNI dan Polri, perwira-perwira lulusan perguruan tinggi itu bisa diharapkan akan lebih efektif dalam menangkal bahaya narkotika, illegal logging, illegal fishing, trafficking, imigran gelap, perusakan lingkungan dan gangguan-gangguan lainnya yang berbasiskan teknologi tinggi.

Dengan cara pandang yang sama, kelompok-kelompok sumber daya dalam komponen pendukung, seperti pramuka, hansip, linmas, satpam, organisasi pemuda, cabang olahraga tertentu, kelompok pencinta alam, bahkan satgas partai, bisa pula diberdayakan untuk menunjang kekuatan Komponen Cadangan. Mereka bisa difungsikan sesuai kompetensinya masing-masing, di bawah pimpinan dan pembinaan para perwira cadangan.


Penutup

Kenyataan bahwa RUU Komponen Cadangan Pertahanan Nasional tak kunjung dibahas di DPR, meskipun draftnya sudah muncul sejak 2005, agaknya itu tak lepas dari kebimbangan banyak fihak tentang implementasinya bila draft tersebut menjadi undang-undang.
Ada konsekuensi biaya yang besar dan ada pula kerumitan dalam penyusunan kelembagaannya.

Pemberdayaan Menwa dan para alumninya itu tampaknya bisa menjadi terobosan, di tengah situasi nyata bahwa Komponen Utama pertahanan negera kita cukup kepayahan menghadapi berbagai gangguan yang mengancam pertahanan nasional kita.
Bila hal tersebut berlangsung berlarut-larut, kedaulatan negara menjadi taruhannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar